Suatu malam, ibu yg bangun sejak pagi, bekerja keras sepanjang hari, membereskan rumah tanpa pembantu, jam tujuh malam ibu selesai menghidangkan makan malam utk ayah, sangat sederhana, berupa telur mata sapi, tempe goreng, sambal teri dan nasi.
Sayangnya krn mengurusi adik yg merengek, tempe dan telor gorengnya sedikit gosong!
Saya melihat ibu sedikit panik, tapi tdk bisa berbuat banyak, minyak gorengnya sdh habis.
Kami menunggu dgn tegang apa reaksi ayah yg pulang kerja pasti sdh capek, melihat makan malamnya hanya tempe dan telur gosong.
Luar biasa! Ayah dgn tenang menikmati dan memakan semua yg disiapkan ibu dgn tersenyum, dan bahkan berkata, "Bu terima kasih ya!" Lalu ayah terus menanyakan kegiatan sy & adik di sekolah.
Selesai makan, masih di meja makan, sy mendengar ibu meminta maaf krn telor & tempe yg gosong itu & satu hal yg tidak pernah sy lupakan adalah apa yg ayah katakan:
"Sayang, aku suka telor & tempe yg gosong."
Sebelum tidur, sy pergi utk memberikan ciuman selamat tidur kpd ayah, sy bertanya apakah ayah benar-benar menyukai telur & tempe gosong?"
Ayah memeluk sy erat dg kedua lengannya & berkata, "Anakku, ibu sdh bekerja keras sepanjang hari & dia benar-benar sdh capek,
Jadi sepotong telor & tempe yg gosong tdk akan menyakiti siapa pun kok!"
Ini pelajaran yg saya praktekkan di tahun-tahun berikutnya; "Belajar menerima kesalahan orang lain, adalah satu kunci yg sangat penting utk menciptakan sebuah hubungan yg sehat, bertumbuh & abadi.

Niemba merupakan komunitas belajar bahasa Inggris. Blog ini merupakan keberlangsungan apa saja yang ada di Niemba. Di antaranya berisi rangkuman kegiatan dan sumber belajar bahasa Inggris. Tidak terbatas pada materi belajar saja, ada juga cerita inspiratif, latihan soal, dan informasi kegiatan belajar di Niemba.
Laman
Tampilkan postingan dengan label Modest. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Modest. Tampilkan semua postingan
Guru
Segala sesuatu bisa menjadi guru untuk kita, apabila kita dengan rendah hati mencoba menjadi murid yang baik bagi siapapun. Iya, seperti itulah adanya. Kita memang bisa belajar dari siapa pun, kapan pun, dan dimana pun. Guru-guru tidak harus orang yang lebih tua, lebih bijak, atau pun orang-orang yang lebih sukses. Akan tetapi, semua orang, semua makhluk, bakan benda mati pun dapat menjadi guru bagi kita.
Nasi Basi - Vidi Yulius Sunandar
Terima Aku
Satu hari perang berkecamuk di Negara Vietnam, keadaan
kacau, korban berjatuhan suara tembakan memberondong ke segala arah.
2 tahun berlalu. Perang berhenti setelah prajurit serdadu mengambil
alih kemerdekaan dengan peluru. Ribuan nyawa hilang, ratusan menjadi korban
keganasan perang. Banyak yang kehilangan rumah, tempat tinggal, sanak saudara atau
harapan.
Sebuah telpon di San Francisco berbunyi “Mah, pah saya
segera pulang. Perang sudah usai. Tapi saya punya pertanyaan. Saya punya
seorang teman. Saya ingin membawanya pulang bersama.”
“Tentu saja, kenalkan kami kepadanya” jawab mereka.
“Tapi ada sesuatu yang harus kalian ketahui. Dia terluka
parah dalam pertempuran. Satu hari
dia menginjak ranjau. Kami berhasil menyelamatkannya tapi
dia kehilangan kaki dan tangannya.
Dia sudah tidak punya tempat tinggal, bolehkah dia tinggal
bersama kita?”
“Kami sedih mendengarnya nak. Tapi mungkin kita bisa
mencarikannya tempat tinggal.”
“Tidak mah, pah. Saya ingin dia tinggal bersama kita”.
“Nak, kamu tidak tahu apa yang kamu minta. Seseorang yang
cacat hanya akan merepotkan kita. Kita punya urusan kita sendiri dan kita tidak
bisa orang seperti ini menambah beban kita. Sebaiknya kamu pulang dan lupakan
orang itu. Dia akan menemukan caranya sendiri untuk hidup”
Lalu telpon d itutup.
Sang orang tua tidak pernah mendengar kabar lagi darinya.
Beberapa hari kemudian, mereka menerima telpon dari
kepolisian Vietnam. Mereka diberi tahu kalau anak mereka telah meninggal dunia.
Dia lompat dari gedung rumah sakit dimana selama ini dia tinggal. Polisi yakin
itu adalah kasus bunuh diri.
Kedua orang tua sang anak langsung terbang ke Vietnam.
Mereka berharap kabar itu tidak benar adanya. Di dalam ruang mayat kedua orang
tua itu menangis. Dia menemukan anaknya sudah mati tak bernyawa. Terlebih dia
tidak punya tangan dan kaki.
Nice Quotation
God has no Phone but I talk to him.
He has no Facebook but he is still my friend.
He does not have a twitter but I still follow him.
Uang Seratus Ribu dan Uang Seribu
Konon, uang seribu dan seratus ribu memiliki asal-usul yang sama tapi mengalami nasib yang berbeda.
Keduanya sama-sama dicetak di PERURI dengan bahan dan alat-alat yang oke. Pertama kali ke luar dari PERURI, uang seribu dan seratus ribu sama-sama bagus, berkilau, bersih, harum dan menarik..
Namun tiga bulan setelah keluar dari PERURI, uang seribu dan seratus ribu bertemu kembali di dompet seseorang dalam kondisi yang berbeda.
Uang seratus ribu berkata pada uang seribu :
Keduanya sama-sama dicetak di PERURI dengan bahan dan alat-alat yang oke. Pertama kali ke luar dari PERURI, uang seribu dan seratus ribu sama-sama bagus, berkilau, bersih, harum dan menarik..
Namun tiga bulan setelah keluar dari PERURI, uang seribu dan seratus ribu bertemu kembali di dompet seseorang dalam kondisi yang berbeda.
Uang seratus ribu berkata pada uang seribu :
Bus reot, restoran, dan kloset mampat
Oleh Anas Al Lubab
Entah
mengapa akhir-akhir ini pikiran saya selalu terngiang-ngiang tiga hal
yang saya sebutkan di atas. Mungkin wajar, mengingat angkutan umum ke
rumah saya di kampung Sumurbatu Cikeusik dari terminal Pakupatan Serang
memang tidak semulus angkutan umum perkotaan seperti jurusan Jakarta
atau Bandung. Hanya ada satu dua damri dan dua bus setiap harinya itu
pun dengan penumpang yang selalu sesak berjejal dengan jarak tempuh 4
hingga 5 jam. Ada pun soal restoran, meskipun saya berasal dari kampung
sekali dua kali ya pernah numpang makan (haha), sementara kloset mampat
adalah hal yang paling menjengkelkan. Bagaimana tidak, sedang kebelet
hendak buang hajat kita harus melihat kotoran mengambang (maaf).
Tiga
hal di atas umumnya pernah kita alami, atau paling tidak kita dengar
dari pengalaman orang lain. Lalu apa yang sebenarnya ingin saya
bicarakan,
Complain of discomforts
Still complain of discomforts despite working in an office with all modern comforts!!!???

How about her!!!???

Do you still complain of hunger..!!!???

How about her!!!???

Tired of sleeping in your cozy bed!!!???

How about her!!!???

Tired of walking on your feet!!!???

How about him!!!???

Still dont appreciate the love and care you get from parents & friends!!!???
How about him?

Comforts make you sleep while studying?

How about them!?

A luxurious bath& still complain about life!!!???

How about them!!!???

Do you still worry that your hands will get hurt washing your own dishes!?

How about her little hands!?

Louis Vitton not enough!!!??? More brands..!!!????
How about him...!!!???
Tired of pleasuring
yourself from playing games!!!???
How about him!!!???
And nothing else to do!!!???
How about them!!???
Always remember this:
When you complain about your life, there are people out there struggling to be you.
Also, while you complain about the little wrongs of your food,
there are people out there starving for a scrap of food.
Therefore, find happiness in who you are, appreciate what you have and
try to bring happiness to at least one person who is struggling
in life and give them a helping hand at your potential.
When you complain about your life, there are people out there struggling to be you.
Also, while you complain about the little wrongs of your food,
there are people out there starving for a scrap of food.
Therefore, find happiness in who you are, appreciate what you have and
try to bring happiness to at least one person who is struggling
in life and give them a helping hand at your potential.
Wujud Kepiting
Mungkin banyak yang
tahu wujud kepiting, tapi tidak banyak
yang tahu sifat kepiting. Semoga Anda tidak
memiliki sifat kepiting yang dengki. Kepiting itu
ukurannya kecil namun rasanya cukup lezat. Kepiting-kepiting itu dengan mudah ditangkap di
malam hari, lalu dimasukkan ke dalam baskom, tanpa diikat.
Yang paling menarik
dari kebiasaan ini, kepiting-kepiting itu akan slalu berusaha untukkeluar dari baskom,
sekuat tenagadengan menggunakan capit-capitnya yang kuat.
Namun seorang penangkap kepiting yang handal selalu tenang meskipun buruannya itu selalu berusaha meloloskan diri. Resepnya hanya satu, yaitu si pemburu tahu betul sifat si kepiting. Bila ada seekor kepiting yang hampir meloloskan diri keluar dari baskom, maka teman-temannya pasti akan menariknya lagi kembali ke dasar.
Namun seorang penangkap kepiting yang handal selalu tenang meskipun buruannya itu selalu berusaha meloloskan diri. Resepnya hanya satu, yaitu si pemburu tahu betul sifat si kepiting. Bila ada seekor kepiting yang hampir meloloskan diri keluar dari baskom, maka teman-temannya pasti akan menariknya lagi kembali ke dasar.
Jika ada lagi yang naik dengan cepat
ke mulut baskom, lagi-lagi temannya akan
menariknya turun. Dan begitulah
seterusnya sampai akhirnya tidak ada yang berhasil keluar. Keesokan harinya sang pemburu
tinggal merebus mereka semua
dan matilah sekawanan
kepiting yang dengki itu.
Begitu pula dalam
kehidupan ini...
Tanpa sadar kita
juga terkadang menjadi seperti kepiting-kepiting itu. Yang seharusnya gembira jika ada
teman atau saudara kita
mengalami kesuksesan kita
malahan lebih mencurigai,
jangan-jangan kesuksesan itu diraih dengan jalan yang gak
bener. Apalagi di dalam bisnis
atau hal lain yang mengandung unsur
kompetisi, sifat iri, dengki,
atau munafik akan
semakin nyata dan kalau tidak segera
kita sadari tanpa
sadar kita sudah membunuh diri kita
sendiri. Kesuksesan akan datang kalau
kita bisa menyadari
bahwa di dalam bisnis
atau persaingan yang penting bukan siapa yang menang, namun
terlebih penting dari itu
seberapa jauh kita bisa mengembangkan diri
kita seutuhnya. Jika
kita berkembang, kita
mungkin bisa menang
atau bisa juga kalah dalam suatu persaingan, namun yang pasti
kita menang dalam kehidupan ini.
Pertanda seseorang
adalah 'kepiting':
- Selalu mengingat kesalahan pihak luar (bisa orang lain atau situasi) yang sudah lampau dan menjadikannya suatu prinsip / pedoman dalam bertindak.
- Banyak mengkritik tapi tidak ada perubahan
- Hobi membicarakan kelemahan orang lain tapi tidak mengetahui kelemahan dirinya sendiri sehingga ia hanya sibuk menarik kepiting - kepiting yang akan keluar dari baskom dan melupakan usaha pelolosan dirinya sendiri.
Seharusnya kepiting-kepiting itu
tolong-menolong keluar dari baskom, namun yah.. dibutuhkan jiwa yang besar untuk
melakukannya... Coba kita renungkan berapa waktu yang kita
pakai ntuk memikirkan cara-cara menjadi pemenang. Dalam kehidupan sosial, bisnis,
sekolah, atau agama. Dan
mari kita ganti waktu itu untuk memikirkan cara -
cara pengembangan diri
kita menjadi pribadi yang sehat dan sukses.
Betapa pun banyaknya kucing berkelahi,
selalu saja banyak anak kucing lahir.
(Abraham
Lincoln)
Mantan Ratu India
Liputan6.com, Sattur: Hidup dalam kemiskinan. Itulah yang kini dijalani Appamma Kajjallappa, istri ketiga Raja Venkateswara Ettappa, penguasa di Virudhunagar, India. Bersama anaknya, dia rela hidup di sebuah gubuk dan berjuang keras untuk mendapatkan sesuap nasi.
Lho, memang ke mana harta benda peninggalan suaminya "Sudah saya sumbangkan ke rakyat," kata Appama, baru-baru ini. Bahkan, istana peninggalan juga sudah berubah menjadi sebuah sekolah demi memenuhi permintaan rakyat.
"Anggota keluarga kami sangat murah hati. Kami menyumbangkan segalanya demi kejehateraan desa. Itulah yang harus dilakukan oleh seorang pemimpin," tambah Appama.
Appama menambahkan, "Mungkin dulu saya adalah seorang ratu, tapi kini saya bukan siapa-siapa lagi. Kami sangat miskin."
Beberapa penduduk desa merasa iba dengan nasib ratu mereka. Sebenarnya, Appamma bekerja di kuil saat ada perayaan ataupun persembahan. Namun, setiap kali penduduk ingin memberikan sesuatu, Appama selalu menolak. Ia beranggapan melayani kuil suci merupakan suatu kehormatan bagi dirinya.(Bernama/DES/ULF)
Berita diambil dari www.yahoo.co.id
Lho, memang ke mana harta benda peninggalan suaminya "Sudah saya sumbangkan ke rakyat," kata Appama, baru-baru ini. Bahkan, istana peninggalan juga sudah berubah menjadi sebuah sekolah demi memenuhi permintaan rakyat.
"Anggota keluarga kami sangat murah hati. Kami menyumbangkan segalanya demi kejehateraan desa. Itulah yang harus dilakukan oleh seorang pemimpin," tambah Appama.
Appama menambahkan, "Mungkin dulu saya adalah seorang ratu, tapi kini saya bukan siapa-siapa lagi. Kami sangat miskin."
Beberapa penduduk desa merasa iba dengan nasib ratu mereka. Sebenarnya, Appamma bekerja di kuil saat ada perayaan ataupun persembahan. Namun, setiap kali penduduk ingin memberikan sesuatu, Appama selalu menolak. Ia beranggapan melayani kuil suci merupakan suatu kehormatan bagi dirinya.(Bernama/DES/ULF)
Berita diambil dari www.yahoo.co.id
Mengapa Wanita Mudah Sekali Menangis?
Suatu ketika, ada seorang anak laki-laki yang bertanya pada ibunya. “Ibu, mengapa ibu menangis?”
Ibu menjawab, “Sebab aku wanita.”
“Aku tidak mengerti, kata si anak lagi.
Ibunya hanya tersenyum dan memeluknya erat. “Nak, kamu memang tak akan pernah mengerti…”
Kemudian anak itu bertanya pada ayahnya. “Ayah, mengapa Ibu menangis? Aku sering melihat Ibu menangis tanpa sebab yang jelas.”
Sang ayah menjawab, “Semua wanita memang sering menangis tanpa alasan.”
Hanya itu jawaban yang bisa diberikan ayahnya. Sampai kemudian si anak itu tumbuh menjadi remaja, ia tetap bertanya-tanya, mengapa wanita begitu mudah menangis. Hingga pada suatu malam, ia bermimpi dan bertanya kepada Tuhan, “Ya Allah, mengapa wanita mudah sekali mengangis?”
Dalam mimpinya, ia merasa seolah Tuhan menjawab:
“Saat Kuciptakan wanita, Aku membuatnya menjadi sangat utama. Kuciptakan bahunya, agar mampu menahan seluruh bebah dunia dan isinya. Walaupun begitu, bahu itu harus cukup nyaman dan lembutuntuk menahan kepala bayi yang sedang tertidur.
Kuberikan kekuatan kepada wanita untuk dapat melahirkan dan mengeluarkan bayi dari rahimnya, walau di kelak kemudaian hari ia kerap menerima cerca dan caci-maki dari anak yang dilahirkannya itu.
Kuberikan keperkasaan yang membuatnya pantang menyerah, tetap bertahan saat semua orang putus asa.
Kuberikan kepadanya kesabatan untuk merawat keluargana walau letih, walau sakit, walau lelah, tanpa berkeluh kesah.
Kuberikan kepada wanita perasaan peka dan kasih sayang untuk mencintai semua anaknya dalam kondisi dan situasi apa pun.
Walau sering anak-anaknya itu melukai hati dan perasaannya.
Perasaan peka inilah yang akan memberikan kehangatan pada bayi-bayi yang mengantuk menahan lelap. Sentuhan inilah yang akan memberikan kenyamanan pada bayi saat ia didekap dengan lembut.
Kuberikan wanita kekuatan untuk membimbing suaminya melalui masa-masa sulit dan menjadi pelindung baginya. Sebab, tulang rusuklah yang mampu melindungi jantung dan hati manusia agar tidak terkoyak.
Kuberikan padanya kebijaksanaan dan kemampuan untuk memberikan pengertian bahwa suami yang baik adalah yang tak pernah melukai istrinya. Walau seringkali pula kebijaksanaan itu akan menguji setiap kesetiaan yang diberikan kepada suami agar tetap berdiri sejajar, saling melengkapi dan saling menyayangi.
Dan akhirnya Kuberikan ia air mata agar dapat mencurahkan perasaanya. Inilah yang khusus Kuberikan kepada wanita, agar dapat digunakan kapanpun ia inginkan. Hanya inillah kelemahan yang dimiliki wanita, walaupun sebenernya air mata ini adalah air mata kehidupan.”
Sumber: (Hari Teguh Patria, www.ukhuwah.or.id.)
Pelajaran Hidup di Stasiun Jatinegara

Sementara itu, dari jendela, saya lihat beberapa orang porter/buruh angkut berlomba lebih dulu masuk ke kereta yang masih melaju. Mereka berpacu dengan kereta, persis dengan kehidupan mereka yang terus berpacu dengan tekanan kehidupan kota Jakarta. Saat kereta benar-benar berhenti, kesibukan penumpang yang turun dan porter yang berebut menawarkan jasa kian kental terasa. Sementara di luar kereta saya lihat kesibukan kaum urban yang akan menggunakan kereta. Mereka kebanyakan berdiri,karena fasilitas tempat duduk kurang memadai. Sebuah lagu lama PT. KAI yang selalu dan selalu diputar dengan setia.
Tiba-tiba terdengar suara anak kecil membuyarkan keasyikan saya mengamati perilaku orang-orang di Jatinegara. Saya lihat seorang bocah berumur sekitar 10 tahun berdiri disamping saya. Kondisi fisiknya menggambarkan tekanan kehidupan yang berat baginya.
Kulitnya hitam dekil dengan baju kumal dan robek-robek disana-sini. Tubuhnya kurus kering tanda kurang gizi. “Ya?” Tanya saya kepada anak itu karena saya tadi konsentrasi saya melihat orang-orang di luar kereta. “Maaf, apakah air minum itu sudah tidak bapak butuhkan?” katanya dengan penuh sopan sambil jarinya menunjuk air minum di atas tempat makanan dan minum samping jendela. Pandangan saya segera mengikuti arah telunjuk si bocah. Oh, air minum dalam kemasan gelas dari katering kereta yang tidak saya minum. Saya bahkan sudah tidak peduli sama sekali dengan air itu. Semalam saya hanya minta air minum dalam kemasan gelas untuk jaga-jaga dan menolak nasi yang diberikan oleh pramugara. Perut saya sudah cukup terisi dengan makan di rumah.
“Tidak. Mau? Nih…” kata saya sambil memberikan air minum kemasan gelas kepada bocah itu. Diterimanya air itu dengan senyum simpul. Senyum yang tulus.
Beberapa menit kemudian, saya lihat dari balik jendela kereta, bocah tadi berjalan beririringan dengan 3 orang temannya. Masing-masing membawa tas kresek di tangannya. Ke empat anak itu kemudian duduk melingkar dilantai emplasemen. Mereka duduk begitu saja. Mereka tidak repot-repot membersihkan lantai yang terlihat kotor. Masing- masing kemudian mengeluarkan isi tas kresek masing-masing.
Setelah saya perhatikan, rupanya isinya adalah “harta karun” yang mereka temukan di atas kereta. Saya lihat ada roti yang tinggal separoh, jeruk medan, juga separuh; sisa nasi catering kereta, dan air minum dalam kemasan gelas!
Selanjutnya dengan rukun mereka saling berbagi “harta karun” temuan mereka dari kereta. Saya lihat bocah paling besar menciumi nasi bekas catering kereta untuk memastikan apakah sudah basi atau belum. Tanpa menyentuh sisa makanan, kotak nasi itu kemudian disodorkan pada temannya. Oleh temannya, nasi sisa tersebut juga dibaui. Kemudian, dia tertawa dengan penuh gembira sambil mengangkat tinggi-tinggi sepotong paha ayam goreng. Saya lihat, paha ayam goreng itu sudah tidak utuh. Nampak jelas bekas gigitan seseorang.
Tapi si bocah tidak peduli, dengan lahap paha ayam itu dimakannya. Demikian juga makanan sisa lainnya. Mereka makan dengan penuh lahap. Sungguh, sebuah “pesta” yang luar biasa. Pesta kemudian diakhiri dengan berbagi air minum dalam kemasan gelas!
Menyaksikan itu semua, saya jadi tertegun. Saya lihat sendiri persis di depan mata, potret anak-anak kurang beruntung yang mencoba bertahan dari kerasnya kehidupan. Nampaknya hidup mereka adalah apa yang mereka peroleh hari itu. Hidup adalah hari ini. Esok adalah mimpi dan misteri. Cita-cita? Masa Depan? Lebih absurd lagi.
Bagi saya pribadi, pelajaran berharga yang saya petik adalah, bahwa saya harus makin pandai bersyukur atas segala rejeki dan nikmat yang diberikan oleh Tuhan. Dan tidak lagi memandang sepele hal yang nampak sepele, seperti misalnya: air minum kemasan gelas. Karena bisa jadi sesuatu yang bagi kita sepele, bagi orang lain sangat berarti.
Gaji Pemimpin
Ketika diangkat sebagai khalifah, tepat sehari sesudahnya Abu Bakar r.a. terlihat berangkat ke pasar dengan barang dagangannya. Umar kebetulan bertemu dengannya di jalan dan mengingatkan bahwa di tangan Abu Bakar sekarang terpikul beban kenegaraan yang berat. “Mengapa kau masih saja pergi ke pasar untuk mengelola bisnis? Sedangkan negara mempunyai begitu banyak permasalahan yang harus dipecahkan…” sentil Umar.
Mendengar itu, Abu Bakar tersenyum. “Untuk mempertahankan hidup keluarga,” ujarnya singkat. “maka aku harus bekerja.”
Kejadian itu membuat Umar berpikir keras. Maka ia pun, bersama sahabat yang lain berkonsultasi dan menghitung pengeluaran rumah tangga khalifah sehari-hari. Tak lama, mereka menetapkan gaji tahunan 2,500 dirham untuk Abu Bakar, dan kemudian secara bertahap, belakangan ditingkatkan menjadi 500 dirham sebulan. Jika dikonversikan pada rupiah, maka gaji Khalifah Abu Bakar hanya sebebsar Rp. 72 juta dalam setahun, atau sekitar Rp 6 juta dalam sebulan. Sekadar informasi, nilai dirham tidak pernah berubah.
Meskipun gaji khalifah sebesar itu, Abu Bakar tidak pernah mengambil seluruhnya gajinya. Pada suatu hari istrinya berkata kepada Abu bakar, “Aku ingin membeli sedikit manisan.”
Abu Bakar menyahut, “Aku tidak memiliki uang yang cukup untuk membelinya.”
Istrinya berkata, “Jika engkau ijinkan, aku akan mencoba untuk menghemat uang belanja kita sehari-hari, sehingga aku dapat membeli manisan itu.”
Abu Bakar menyetujuinya.
Maka mulai saat itu istri Abu Bakar menabung sedikit demi sedikit, menyisihkan uang belanja mereka setiap hari. Beberapa hari kemudian uang itu pun terkumpul untuk membeli makanan yang diinginkan oleh istrinya. Setelah uang itu terkumpul, istrinya menyerahkan uang itu kepada suaminya untuk dibelikan bahan makanan tersebut.
Namun Abu Bakar berkata, “Nampaknya dari pengalaman ini, ternyata uang tunjangan yang kita peroleh dari Baitul Mal itu melebihi keperluan kita.” Lalu Abu bakar mengembalikan lagi uang yang sudah dikumpulkan oleh istrinya itu ke Baitul Mal. Dan sejak hari itu, uang tunjangan beliau telah dikurangi sejumlah uang yang dapat dihemat oleh istrinya.
Pada saat wafatnya, Abu Bakar hanya mempunyai sebuah sprei tua dan seekor unta, yang merupakan harta negara. Ini pun dikembalikannya kepada penggantinya, Umar bin Khattab. Umar pernah mengatakan, “Aku selalu saja tidak pernah bisa mengalahkan Abu Bakar dalam beramal shaleh.”
Mendengar itu, Abu Bakar tersenyum. “Untuk mempertahankan hidup keluarga,” ujarnya singkat. “maka aku harus bekerja.”
Kejadian itu membuat Umar berpikir keras. Maka ia pun, bersama sahabat yang lain berkonsultasi dan menghitung pengeluaran rumah tangga khalifah sehari-hari. Tak lama, mereka menetapkan gaji tahunan 2,500 dirham untuk Abu Bakar, dan kemudian secara bertahap, belakangan ditingkatkan menjadi 500 dirham sebulan. Jika dikonversikan pada rupiah, maka gaji Khalifah Abu Bakar hanya sebebsar Rp. 72 juta dalam setahun, atau sekitar Rp 6 juta dalam sebulan. Sekadar informasi, nilai dirham tidak pernah berubah.
Meskipun gaji khalifah sebesar itu, Abu Bakar tidak pernah mengambil seluruhnya gajinya. Pada suatu hari istrinya berkata kepada Abu bakar, “Aku ingin membeli sedikit manisan.”
Abu Bakar menyahut, “Aku tidak memiliki uang yang cukup untuk membelinya.”
Istrinya berkata, “Jika engkau ijinkan, aku akan mencoba untuk menghemat uang belanja kita sehari-hari, sehingga aku dapat membeli manisan itu.”
Abu Bakar menyetujuinya.
Maka mulai saat itu istri Abu Bakar menabung sedikit demi sedikit, menyisihkan uang belanja mereka setiap hari. Beberapa hari kemudian uang itu pun terkumpul untuk membeli makanan yang diinginkan oleh istrinya. Setelah uang itu terkumpul, istrinya menyerahkan uang itu kepada suaminya untuk dibelikan bahan makanan tersebut.
Namun Abu Bakar berkata, “Nampaknya dari pengalaman ini, ternyata uang tunjangan yang kita peroleh dari Baitul Mal itu melebihi keperluan kita.” Lalu Abu bakar mengembalikan lagi uang yang sudah dikumpulkan oleh istrinya itu ke Baitul Mal. Dan sejak hari itu, uang tunjangan beliau telah dikurangi sejumlah uang yang dapat dihemat oleh istrinya.
Pada saat wafatnya, Abu Bakar hanya mempunyai sebuah sprei tua dan seekor unta, yang merupakan harta negara. Ini pun dikembalikannya kepada penggantinya, Umar bin Khattab. Umar pernah mengatakan, “Aku selalu saja tidak pernah bisa mengalahkan Abu Bakar dalam beramal shaleh.”
Nasehat Kematian dari Umar bin Abdul Aziz r.a
Suatu ketika, Umar bin Abdul Aziz r.a mengiringi jenazah. Ketika semuanya telah bubar, Umar dan beberapa sahabatnya tidak beranjak dari kubur jenazah tadi. Beberapa sahabatnya bertanya, “wahai Amirul Mukminin, ini adalah jenazah yang engkau menjadi walinya. Engkau menungguinya disini lalu akan meninggalkannya“.
Umar berkata, “Ya. Sesungguhnya kuburan ini memanggilku dari belakang. Maukah kalian kuberitahu apa yang ia katakan kepadaku?“.
Mereka menjawab, “Tentu”.
Umar berkata, “Kuburan ini memanggilku dan berkata, ‘Wahai Umar bin Abdul Aziz, maukah kuberitahu apa yang akan kuperbuat dengan orang yang kau cintai ini?‘, “Tentu“, jawabku.
Kuburan itu berkata, “Aku bakar kafannya, kurobek badannya dan kusedot darahnya serta kukunyah dagingnya. Maukah kau kau kuberitahu apa yang kuperbuat dengan anggota badannya?“.
“Tentu“, jawabku.
“Aku cabut (satu per satu dari) telapak ke tangannya, lalu dari tangannya ke lengan dan dari lengan menuju pundak. Lalu kucabut pula lutut dari pahanya. Dan paha dari lututnya. Ku cabut pula lutut itu dari betis. Dan dari betis menuju telapak kakinya“.
Lalu Umar bin Abdul Aziz menangis dan berkata,
Ketahuilah, umur dunia hanya sedikit. Kemuliaan didalamnya adalah kehinaan. Pemudanya akan menjadi renta, dan yang hidup didalamnya akan mati. Celakalah yang tertipu olehnya.
Janganlah kau tertipu oleh dunia. Orang yang tertipu adalah yang tertipu oleh dunia. Dimanakah penduduk yang membangun suatu kota, membelah sungai-sungainya dan menghiasinya dengan pepohonan, lalu tinggal di dalamnya dalam jangka waktu sangat pendek. Mereka tertipu, menggunakan kesehatan yang dimiliki untuk berbuat maksiat.
Demi Allah, di dunia mereka dicengkeram oleh hartanya, tak boleh begini dan begitu, dan banyak orang yang dengki kepadanya. Apa yang diperbuat oleh tanah dan kerikil kuburan terhadap tubuhnya? Apa pula yang diperbuat binatang-binatang tanah terhadap tulang dan anggota tubuhnya?
Dulu, di dunia mereka berada di tengah-tengah keluarga yang mengelilinginya. Diatas kasur yang empuk dan pembantu yang setia. Keluarga yang memuliakan dan kekasih yang menyertainya. Tetapi ketika semuanya berlalu dan maut datang memanggil, lihatlah betapa dekat kuburan dengan tempat tinggalnya. Tanyakan kepada orang kaya, apa yang tersisa dari kekayaannya? Tanyakan pula kepada orang fakir, apa yang tersisa dari kefakirannya?
Tanyalah mereka tentang lisan, yang sebelumnya mereka gunakan berbicara. Juga tentang mata yang mereka gunakan melihat hal-hal yang menyenangkan. Tanyakan tentang kulit yang lembut dan wajah yang menawan serta tubuh yang indah, apa yang dilakukan cacing tanah terhadap itu semua? Warnanya pudar, dagingnya dikunyah-kunyah, wajahnya terlumuri tanah. Hilanglah keindahannya. Tulang meremuk, badan membusuk dan dagingnya pun tercabik-cabik.
Dimanakah para punggawa dan budak-budak? Dimana kawan, dimana simpanan harta benda? Demi Allah, mereka tidak membekali si mayit dengan kasur, bahkan tongkat untuk bertopang sekalipun. Dahulu dirumah mereka merasakan kenikmatan. Kini ia tenggelam dibawah benaman tanah. Bukankah kini mereka tinggal ditempat yang lusuh dan menjijikan? Bukankah sama saja bagi mereka; siang dan malam? Bukankah sekarang mereka tenggelam dalam pekatnya kegelapan? Tak ada lagi kesempatan untuk bertemu dengan orang-orang tercinta.
Berapa banyak orang yang dulunya mulia, kini wajahnya hancur. anggota badannya tercerai berai. Mulut mereka belepotan dengan darah dan nanah. Binatang-binatang tanah mengerubuti jasad mereka, sehingga satu per satu anggota tubuh terlepas. Hingga akhirnya tak tersisa, kecuali hanya sebagian kecil saja. Mereka telah meninggalkan istananya. Berpindah dari tempat lapang ke lubang yang sempit. Sesudah itu, istri-istri mereka dinikahi orang lain. Anak-anaknya pun berkeliaran dijalan. Harta bendanya dibagi-bagi oleh ahli warisnya.
Diantara mereka, ada pula yang dilapangkan kuburnya. Diberi kenikmatan dan bersenang-senang dengannya didalam kubur. Tetapi ada pula yang di adzab dalam sempitnya lubang kubur. Menyesali apa yang telah mereka kerjakan.
Umar lalu menangis dan berkata, “Wahai yang menjadi penghuni kubur esok hari, bagaimana dunia bisa menipumu? Dimana kafanmu? Dimana minyak (wewangian untuk orang mati)mu dan dimana dupamu? Bagaimana nanti ketika kamu telah berada dalam pelukan bumi. Celakalah aku, dari bagian tubuh yang mana pertama kali cacing tanah itu melumatku? Celakalah aku, dalam keadaan bagaimana aku kelak bertemu dengan malaikat maut, saat ruhku meninggalkan dunia? Keputusan apakah yang akan diturunkan oleh Rabbku?“.
Ia menangis dan terus menangis, lalu pergi . Tak lebih dari satu pekan setelah itu, ia meninggal. Semoga Beliau dirahmati Allah
Umar berkata, “Ya. Sesungguhnya kuburan ini memanggilku dari belakang. Maukah kalian kuberitahu apa yang ia katakan kepadaku?“.
Mereka menjawab, “Tentu”.
Umar berkata, “Kuburan ini memanggilku dan berkata, ‘Wahai Umar bin Abdul Aziz, maukah kuberitahu apa yang akan kuperbuat dengan orang yang kau cintai ini?‘, “Tentu“, jawabku.
Kuburan itu berkata, “Aku bakar kafannya, kurobek badannya dan kusedot darahnya serta kukunyah dagingnya. Maukah kau kau kuberitahu apa yang kuperbuat dengan anggota badannya?“.
“Tentu“, jawabku.
“Aku cabut (satu per satu dari) telapak ke tangannya, lalu dari tangannya ke lengan dan dari lengan menuju pundak. Lalu kucabut pula lutut dari pahanya. Dan paha dari lututnya. Ku cabut pula lutut itu dari betis. Dan dari betis menuju telapak kakinya“.
Lalu Umar bin Abdul Aziz menangis dan berkata,
Ketahuilah, umur dunia hanya sedikit. Kemuliaan didalamnya adalah kehinaan. Pemudanya akan menjadi renta, dan yang hidup didalamnya akan mati. Celakalah yang tertipu olehnya.
Janganlah kau tertipu oleh dunia. Orang yang tertipu adalah yang tertipu oleh dunia. Dimanakah penduduk yang membangun suatu kota, membelah sungai-sungainya dan menghiasinya dengan pepohonan, lalu tinggal di dalamnya dalam jangka waktu sangat pendek. Mereka tertipu, menggunakan kesehatan yang dimiliki untuk berbuat maksiat.
Demi Allah, di dunia mereka dicengkeram oleh hartanya, tak boleh begini dan begitu, dan banyak orang yang dengki kepadanya. Apa yang diperbuat oleh tanah dan kerikil kuburan terhadap tubuhnya? Apa pula yang diperbuat binatang-binatang tanah terhadap tulang dan anggota tubuhnya?
Dulu, di dunia mereka berada di tengah-tengah keluarga yang mengelilinginya. Diatas kasur yang empuk dan pembantu yang setia. Keluarga yang memuliakan dan kekasih yang menyertainya. Tetapi ketika semuanya berlalu dan maut datang memanggil, lihatlah betapa dekat kuburan dengan tempat tinggalnya. Tanyakan kepada orang kaya, apa yang tersisa dari kekayaannya? Tanyakan pula kepada orang fakir, apa yang tersisa dari kefakirannya?
Tanyalah mereka tentang lisan, yang sebelumnya mereka gunakan berbicara. Juga tentang mata yang mereka gunakan melihat hal-hal yang menyenangkan. Tanyakan tentang kulit yang lembut dan wajah yang menawan serta tubuh yang indah, apa yang dilakukan cacing tanah terhadap itu semua? Warnanya pudar, dagingnya dikunyah-kunyah, wajahnya terlumuri tanah. Hilanglah keindahannya. Tulang meremuk, badan membusuk dan dagingnya pun tercabik-cabik.
Dimanakah para punggawa dan budak-budak? Dimana kawan, dimana simpanan harta benda? Demi Allah, mereka tidak membekali si mayit dengan kasur, bahkan tongkat untuk bertopang sekalipun. Dahulu dirumah mereka merasakan kenikmatan. Kini ia tenggelam dibawah benaman tanah. Bukankah kini mereka tinggal ditempat yang lusuh dan menjijikan? Bukankah sama saja bagi mereka; siang dan malam? Bukankah sekarang mereka tenggelam dalam pekatnya kegelapan? Tak ada lagi kesempatan untuk bertemu dengan orang-orang tercinta.
Berapa banyak orang yang dulunya mulia, kini wajahnya hancur. anggota badannya tercerai berai. Mulut mereka belepotan dengan darah dan nanah. Binatang-binatang tanah mengerubuti jasad mereka, sehingga satu per satu anggota tubuh terlepas. Hingga akhirnya tak tersisa, kecuali hanya sebagian kecil saja. Mereka telah meninggalkan istananya. Berpindah dari tempat lapang ke lubang yang sempit. Sesudah itu, istri-istri mereka dinikahi orang lain. Anak-anaknya pun berkeliaran dijalan. Harta bendanya dibagi-bagi oleh ahli warisnya.
Diantara mereka, ada pula yang dilapangkan kuburnya. Diberi kenikmatan dan bersenang-senang dengannya didalam kubur. Tetapi ada pula yang di adzab dalam sempitnya lubang kubur. Menyesali apa yang telah mereka kerjakan.
Umar lalu menangis dan berkata, “Wahai yang menjadi penghuni kubur esok hari, bagaimana dunia bisa menipumu? Dimana kafanmu? Dimana minyak (wewangian untuk orang mati)mu dan dimana dupamu? Bagaimana nanti ketika kamu telah berada dalam pelukan bumi. Celakalah aku, dari bagian tubuh yang mana pertama kali cacing tanah itu melumatku? Celakalah aku, dalam keadaan bagaimana aku kelak bertemu dengan malaikat maut, saat ruhku meninggalkan dunia? Keputusan apakah yang akan diturunkan oleh Rabbku?“.
Ia menangis dan terus menangis, lalu pergi . Tak lebih dari satu pekan setelah itu, ia meninggal. Semoga Beliau dirahmati Allah
August 8, 2010
by ardianz87
by ardianz87
Diposkan oleh H. Faiq Abdullah
http://ahbabulmusthofasolo.blogspot.com/
http://ahbabulmusthofasolo.blogspot.com/
Ananda tau, ananda bukan yang selalu mematuhi perintah ibu
Pasti ananda pernah bikin kesel ibukan?
Pasti pernah bikin ibu pusingkan?
Pasti ananda pernah bikin ibu kecewa dengan keputusan yang ananda buatkan?
Ananda sedang berusaha untuk memperbaikinya bu
Butuh lebih lama dari waktu yang ananda rencanakan
Tapi ananda janji ga akan lama lagi
Setelah itu ananda akan jadi kebanggaan ibu
Apapun yang terjadi ananda akan membanggakan ibu selamanya
Terima kasih karena ibu yang telah membesarkan ananda dengan sangat baik
Sabar ya bu, sedikit lagi
Kebahagiaan Seorang Guru
Suatu ketika di kantor guru, saya kedatangan seorang tamu, seorang
teman memberi tahu saya bahwa saya sedang dicari seseorang berseragam
polisi, wah ada apa nich..? tanya saya dalam hati, pikiran saya sudah
mulai menebak-nebak, apa ada anak yang tawuran? Atau ada sesuatu yang
tidak beres di sekolah ini, pikir saya. Dengan deg-deg an, saya minta
tamu tersebut masuk ke ruang kantor saya. Sesaat masuk, tamu dengan
pakaian dinas polisi tersebut, memberi hormat kepada saya dan dengan
sikap tegap mengatakan. “Lapor Pak, Saya Letnan Satu Herzoni Saragih,
murid Bapak angkatan pertama SMP YPPSB, saat ini bertugas menjadi
Kepala Polisi Sektor ....di Kabupaten Bulungan Kaltim”. Sontak saya
peluk dia. Herzoni bercerita banyak tentang tugas-tugasnya, teman
seangkatannya yang telah jadi dokter, pengusaha cargo, ada yang jadi
karyawan di perusahaan asing, ada yang melanjutkan kuliah di luar negri
dan lain-lain. Mendengar itu semua, ada air mata bahagia, ada aliran
hangat yang menyelimuti hati saya. Ada rasa bangga bahwa murid saya
telah berhasil mencapai apa yang dicita-citakan, ada rasa haru atas
pengakuan dan rasa hormat murid saya tersebut, walau sudah berpisah
sekian lama. Ada rasa bahagia di hati saya.
Pada kisah yang lain, saya mendapat informasi dari teman-teman guru dan para orang tua murid bahwa salah satu bekas murid saya yang dulu sangat dekat dengan saya, telah menjadi preman di kawasan Town Hall, sebuah kawasan perniagaan di kota Sangatta kabupaten Kutai Timur. Namanya sebut saja Robin. Dari info yang saya dapatkan penampilan Robin sudah sangat berbeda, rambutnya gondrong, pakai kalung, dan anting-anting, pakaian khasnya rompi kulit, pakai ikat kepala gaya penyanyi rap, matanya merah, mulutnya bau minuman keras, dan lain-lain. Pendek kata label preman telah diberikan lingkungannya terhadap Robin. Ada rasa gundah di hati saya, ada rasa sedih yang menyelimuti hati saya, ada beribu-ribu pertanyaan di pikiran saya, apa yang terjadi pada anak tersebut? Dan mengapa dia memilih menjadi preman pasar seperti itu?
Suatu ketika, secara tidak sengaja saya bertemu Robin, dia ingin menghindari saya namun saya coba panggil namanya, saya hampiri dan salami dia dengan hangat. Saya tatap matanya?, saya menduga ada luka yang mendalam terlihat dari sorot matanya. Saya tanya apa kabarnya?, dia menjawab yah beginilah Pak, seperti yang bapak lihat. Dia mengatakan, apakah Bapak tidak malu mempunyai murid seperti saya? Tanyanya. Saya menjawab "Malu?, mengapa harus malu?, jadi apapun kamu, kamu telah ditakdirkan menjadi murid saya. Kata-kata itu spontan keluar dari mulut saya. Kami mencari tempat duduk yang nyaman, di teras sebuah toko yang dirindangi pohon. Saya menjadi pendengar yang baik dari masalah yang telah menimpa dirinya, “Ayah saya kawin lagi, dia tidak mempedulikan kami, dia berlaku kasar terhadap Ibu saya, Kalau ketemu akan saya bunuh mereka”. Kata Robin dengan geramnya. Saya mencoba berempati, mendengarkan "curhat"nya, setelah semua sudah dicurahkan saya mencoba menanyakan kembali sebenarnya dia dulu memiliki cita-cita seperti apa?, ”Saya ingin jadi arsitek Pak, saya tinggalkan kuliah saya karena masalah ini”. Katanya. Tidak banyak yang bisa saya berikan, saya hanya mendengarkan dan menggali harapannya. Sebelum berpisah, saya tepuk pundaknya dan saya katakan, “Kamu anak cerdas dan kamu pasti bisa jadi Arsitek”. Saya sampaikan juga bahwa saya bersedia bertemu kapan saja yang dia butuhkan.
6 bulan kemudian, saat saya dan keluarga sedang menikmati liburan di Kawasan Mall Mesra Indah di Samarinda. Ada seorang pemuda memanggil saya, Pak Joko...Pak Joko...., Saya Robin Pak. Saya hampir tidak mengenalnya, rambutnya rapi, pakaiannya rapi dan sopan, sorot matanya penuh keceriaan. Dia mengatakan, saat ini saya kuliah lagi, Pak. Setelah bertemu dengan Bapak, saya terus berpikir dan akhirnya memutuskan kuliah lagi. Subhanallah, perasaan saya yang awalnya gundah, sedih berubah menjadi begitu senang, haru dan bahagia.
Kutipan eh pastean dari: http://www.klubguru.com/2-view.php?subaction=showfull&id=1275294166&ucat=34&archive=&start_from=&
Pada kisah yang lain, saya mendapat informasi dari teman-teman guru dan para orang tua murid bahwa salah satu bekas murid saya yang dulu sangat dekat dengan saya, telah menjadi preman di kawasan Town Hall, sebuah kawasan perniagaan di kota Sangatta kabupaten Kutai Timur. Namanya sebut saja Robin. Dari info yang saya dapatkan penampilan Robin sudah sangat berbeda, rambutnya gondrong, pakai kalung, dan anting-anting, pakaian khasnya rompi kulit, pakai ikat kepala gaya penyanyi rap, matanya merah, mulutnya bau minuman keras, dan lain-lain. Pendek kata label preman telah diberikan lingkungannya terhadap Robin. Ada rasa gundah di hati saya, ada rasa sedih yang menyelimuti hati saya, ada beribu-ribu pertanyaan di pikiran saya, apa yang terjadi pada anak tersebut? Dan mengapa dia memilih menjadi preman pasar seperti itu?
Suatu ketika, secara tidak sengaja saya bertemu Robin, dia ingin menghindari saya namun saya coba panggil namanya, saya hampiri dan salami dia dengan hangat. Saya tatap matanya?, saya menduga ada luka yang mendalam terlihat dari sorot matanya. Saya tanya apa kabarnya?, dia menjawab yah beginilah Pak, seperti yang bapak lihat. Dia mengatakan, apakah Bapak tidak malu mempunyai murid seperti saya? Tanyanya. Saya menjawab "Malu?, mengapa harus malu?, jadi apapun kamu, kamu telah ditakdirkan menjadi murid saya. Kata-kata itu spontan keluar dari mulut saya. Kami mencari tempat duduk yang nyaman, di teras sebuah toko yang dirindangi pohon. Saya menjadi pendengar yang baik dari masalah yang telah menimpa dirinya, “Ayah saya kawin lagi, dia tidak mempedulikan kami, dia berlaku kasar terhadap Ibu saya, Kalau ketemu akan saya bunuh mereka”. Kata Robin dengan geramnya. Saya mencoba berempati, mendengarkan "curhat"nya, setelah semua sudah dicurahkan saya mencoba menanyakan kembali sebenarnya dia dulu memiliki cita-cita seperti apa?, ”Saya ingin jadi arsitek Pak, saya tinggalkan kuliah saya karena masalah ini”. Katanya. Tidak banyak yang bisa saya berikan, saya hanya mendengarkan dan menggali harapannya. Sebelum berpisah, saya tepuk pundaknya dan saya katakan, “Kamu anak cerdas dan kamu pasti bisa jadi Arsitek”. Saya sampaikan juga bahwa saya bersedia bertemu kapan saja yang dia butuhkan.
6 bulan kemudian, saat saya dan keluarga sedang menikmati liburan di Kawasan Mall Mesra Indah di Samarinda. Ada seorang pemuda memanggil saya, Pak Joko...Pak Joko...., Saya Robin Pak. Saya hampir tidak mengenalnya, rambutnya rapi, pakaiannya rapi dan sopan, sorot matanya penuh keceriaan. Dia mengatakan, saat ini saya kuliah lagi, Pak. Setelah bertemu dengan Bapak, saya terus berpikir dan akhirnya memutuskan kuliah lagi. Subhanallah, perasaan saya yang awalnya gundah, sedih berubah menjadi begitu senang, haru dan bahagia.
Kutipan eh pastean dari: http://www.klubguru.com/2-view.php?subaction=showfull&id=1275294166&ucat=34&archive=&start_from=&
Sandal Jepit Isteriku
Selera makanku mendadak punah. Hanya ada rasa kesal dan jengkel yang memenuhi kepala ini. Duh... betapa tidak gemas, dalam keadaan lapar memuncak seperti ini makanan yang tersedia tak ada yang memuaskan lidah. Sayur sop ini rasanya manis bak kolak pisang, sedang perkedelnya asin nggak ketulungan.
“Ummi... Ummi, kapan kau dapat memasak dengan benar...? Selalu saja, kalau tak keasinan... kemanisan, kalau tak keaseman... ya kepedesan!” Ya, aku tak bisa menahan emosi untuk tak menggerutu. “Sabar bi..., rasulullah juga sabar terhadap masakan Aisyah dan Khodijah. Katanya mau kayak Rasul...? “ ucap isteriku kalem. “Iya... tapi abi kann manusia biasa. Abi belum bisa sabar seperti Rasul. Abi tak tahan kalau makan terus menerus seperti ini...!” Jawabku dengan nada tinggi. Mendengar ucapanku yang bernada emosi, kulihat isteriku menundukkan kepala dalam?dalam. Kalau sudah begitu, aku yakin pasti air matanya sudah merebak.
Sepekan sudah aku ke luar kota. Dan tentu, ketika pulang benak ini penuh dengan jumput?jumput harapan untuk menemukan ‘baiti jannati’ di rumahku. Namun apa yang terjadi...? Ternyata kenyataan tak sesuai dengan apa yang kuimpikan. Sesampainya di rumah, kepalaku malah mumet tujuh keliling. Bayangkan saja, rumah kontrakanku tak ubahnya laksana kapal burak (pecah).
Pakaian bersih yang belum disetrika menggunung di sana sini. Piring-piring kotor berpesta pora di dapur, dan cucian... ouw... berember-ember. Ditambah lagi aroma bau busuknya yang menyengat, karena berhari-hari direndam dengan detergen tapi tak juga dicuci. Melihat keadaan seperti ini aku cuma bisa beristigfar sambil mengurut dada.
“Ummi...ummi, bagaimana abi tak selalu kesal kalau keadaan terus menerus begini...?” ucapku sambil menggeleng-gelengkan kepala. “Ummi... isteri sholihat itu tak hanya pandai ngisi pengajian, tapi dia juga harus pandai dalam mengatur tetek bengek urusan rumah tangga. Harus bisa masak, nyetrika, nyuci, jahit baju, beresin rumah...?” Belum sempat kata-kataku habis sudah terdengar ledakan tangis isteriku yang kelihatan begitu pilu. “Ah...wanita gampang sekali untuk menangis...,” batinku berkata dalam hati.
“Sudah diam Mi, tak boleh cengeng. Katanya mau jadi isteri shalihat...? Isteri shalihat itu tidak cengeng,” bujukku hati-hati setelah melihat air matanya menganak sungai dipipinya. “Gimana nggak nangis! Baru juga pulang sudah ngomel-ngomel terus. Rumah ini berantakan karena memang ummi tak bisa mengerjakan apa?apa. Jangankan untuk kerja untuk jalan saja susah. Ummi kan muntah?muntah terus, ini badan rasanya tak bertenaga sama sekali,” ucap isteriku diselingi isak tangis. “Abi nggak ngerasain sih bagaimana maboknya orang yang hamil muda...” Ucap isteriku lagi, sementara air matanya kulihat tetap merebak.
Bi..., siang nanti antar Ummi ngaji ya...?” pinta isteriku. “Aduh, Mi... abi kan sibuk sekali hari ini. Berangkat sendiri saja ya?” ucapku. “Ya sudah, kalau abi sibuk, Ummi naik bis umum saja, mudah-mudahan nggak pingsan di jalan,” jawab isteriku. “Lho, kok bilang gitu...?” “Iya, dalam kondisi muntah-muntah seperti ini kepala Ummi gampang pusing kalau mencium bau bensin. Apalagi ditambah berdesak? Desakan dalam dengan suasana panas menyengat. Tapi mudah-mudahan sih nggak kenapa? kenapa,” ucap isteriku lagi. “Ya sudah, kalau begitu naik bajaj saja,” jawabku ringan.
Pertemuan hari ini ternyata diundur pekan depan. Kesempatan waktu luang ini kugunakan untuk menjemput isteriku. Entah kenapa hati ini tiba-tiba saja menjadi rindu padanya. Motorku sudah sampai di tempat isteriku mengaji. Di depan pintu kulihat masih banyak sepatu berjajar, ini pertanda acara belum selesai. Kuperhatikan sepatu yang berjumlah delapan pasang itu satu persatu.
Ah, semuanya indah-indah dan kelihatan harganya begitu mahal. “Wanita, memang suka yang indah?indah, sampai bentuk sepatu pun lucu-lucu,” aku membathin sendiri. Mataku tiba-tiba terantuk pandang pada sebuah sendal jepit yang diapit sepasang sepatu indah. Dug! Hati ini menjadi luruh. “Oh....bukankah ini sandal jepit isteriku?” Tanya hatiku. Lalu segera kuambil sandal jepit kumal yang tertindih sepatu indah itu. Tes! Air mataku jatuh tanpa terasa. Perih nian rasanya hati ini, kenapa baru sekarang sadar bahwa aku tak pernah memperhatikan isteriku. Sampai-sampai kemana ia pergi harus bersandal jepit kumal. Sementara teman?temannnya bersepatu bagus. “Maafkan aku Maryam,” pinta hatiku. “Krek...,” suara pintu terdengar dibuka.
Aku terlonjak, lantas menyelinap ke tembok samping. Kulihat dua ukhti berjalan melintas sambil menggendong bocah mungil yang berjilbab indah dan cerah, secerah warna baju dan jilbab umminya. Beberapa menit setelah kepergian dua ukhti itu, kembali melintas ukhti-ukhti yang lain. Namun, belum juga kutemukan Maryamku. Aku menghitung sudah delapan orang keluar dari rumah itu, tapi isteriku belum juga keluar. Peantianku berakhir ketika sesosok tubuh berbaya gelap dan berjilbab hitam melintas. “Ini dia mujahidahku!” pekik hatiku. Ia beda dengan yang lain, ia begitu bersahaja.
Kalau yang lain memakai baju berbunga cerah indah, ia hanya memakai baju warna gelap yang sudah lusuh pula warnanya. Diam?diam hatiku kembali dirayapi perasaan berdosa karena selama ini kurang memperhatikan isteri.
Ya, aku baru sadar, bahwa semenjak menikah belum pernah membelikan sepotong baju pun untuknya. Aku terlalu sibuk memperhatikan kekurangan-kekurangan isteriku, padahal di balik semua itu begitu banyak kelebihanmu, wahai Maryamku. Aku benar-benar menjadi malu pada Allah dan Rasul-Nya. Selama ini aku terlalu sibuk mengurus orang lain, sedang isteriku tak pernah kuurusi.
Padahal Rasul telah berkata: “Yang terbaik di antara kamu adalah yang paling baik terhadap keluarganya.” Sedang aku..? Ah, kenapa pula aku lupa bahwa Allah menyuruh para suami agar menggauli isterinya dengan baik. Sedang aku...? terlalu sering ngomel dan menuntut isteri dengan sesuatu yang ia tak dapat melakukannya. Aku benar-benar merasa menjadi suami terdzalim!!! “Maryam...!” panggilku, ketika tubuh berabaya gelap itu melintas. Tubuh itu lantas berbalik ke arahku, pandangan matanya menunjukkan ketidakpercayaan atas kehadiranku di tempat ini. Namun, kemudian terlihat perlahan bibirnya mengembangkan senyum. Senyum bahagia. “Abi...!” bisiknya pelan dan girang.
Sungguh, aku baru melihat isteriku segirang ini. “Ah, kenapa tidak dari dulu kulakukan menjemput isteri?” sesal hatiku.
Esoknya aku membeli sepasang sepatu untuk isteriku. Ketika tahu hal itu, senyum bahagia kembali mengembang dari bibirnya. “Alhamdulillah, jazakallahu...,”ucapnya dengan suara tulus. Ah, Maryam, lagi-lagi hatiku terenyuh melihat polahmu. Lagi-lagi sesal menyerbu hatiku. Kenapa baru sekarang aku bisa bersyukur memperoleh isteri zuhud dan ‘iffah sepertimu?
Kenapa baru sekarang pula kutahu betapa nikmatnya menyaksikan matamu yang berbinar-binar karena perhatianku...?
“Ummi... Ummi, kapan kau dapat memasak dengan benar...? Selalu saja, kalau tak keasinan... kemanisan, kalau tak keaseman... ya kepedesan!” Ya, aku tak bisa menahan emosi untuk tak menggerutu. “Sabar bi..., rasulullah juga sabar terhadap masakan Aisyah dan Khodijah. Katanya mau kayak Rasul...? “ ucap isteriku kalem. “Iya... tapi abi kann manusia biasa. Abi belum bisa sabar seperti Rasul. Abi tak tahan kalau makan terus menerus seperti ini...!” Jawabku dengan nada tinggi. Mendengar ucapanku yang bernada emosi, kulihat isteriku menundukkan kepala dalam?dalam. Kalau sudah begitu, aku yakin pasti air matanya sudah merebak.
Sepekan sudah aku ke luar kota. Dan tentu, ketika pulang benak ini penuh dengan jumput?jumput harapan untuk menemukan ‘baiti jannati’ di rumahku. Namun apa yang terjadi...? Ternyata kenyataan tak sesuai dengan apa yang kuimpikan. Sesampainya di rumah, kepalaku malah mumet tujuh keliling. Bayangkan saja, rumah kontrakanku tak ubahnya laksana kapal burak (pecah).
Pakaian bersih yang belum disetrika menggunung di sana sini. Piring-piring kotor berpesta pora di dapur, dan cucian... ouw... berember-ember. Ditambah lagi aroma bau busuknya yang menyengat, karena berhari-hari direndam dengan detergen tapi tak juga dicuci. Melihat keadaan seperti ini aku cuma bisa beristigfar sambil mengurut dada.
“Ummi...ummi, bagaimana abi tak selalu kesal kalau keadaan terus menerus begini...?” ucapku sambil menggeleng-gelengkan kepala. “Ummi... isteri sholihat itu tak hanya pandai ngisi pengajian, tapi dia juga harus pandai dalam mengatur tetek bengek urusan rumah tangga. Harus bisa masak, nyetrika, nyuci, jahit baju, beresin rumah...?” Belum sempat kata-kataku habis sudah terdengar ledakan tangis isteriku yang kelihatan begitu pilu. “Ah...wanita gampang sekali untuk menangis...,” batinku berkata dalam hati.
“Sudah diam Mi, tak boleh cengeng. Katanya mau jadi isteri shalihat...? Isteri shalihat itu tidak cengeng,” bujukku hati-hati setelah melihat air matanya menganak sungai dipipinya. “Gimana nggak nangis! Baru juga pulang sudah ngomel-ngomel terus. Rumah ini berantakan karena memang ummi tak bisa mengerjakan apa?apa. Jangankan untuk kerja untuk jalan saja susah. Ummi kan muntah?muntah terus, ini badan rasanya tak bertenaga sama sekali,” ucap isteriku diselingi isak tangis. “Abi nggak ngerasain sih bagaimana maboknya orang yang hamil muda...” Ucap isteriku lagi, sementara air matanya kulihat tetap merebak.
Bi..., siang nanti antar Ummi ngaji ya...?” pinta isteriku. “Aduh, Mi... abi kan sibuk sekali hari ini. Berangkat sendiri saja ya?” ucapku. “Ya sudah, kalau abi sibuk, Ummi naik bis umum saja, mudah-mudahan nggak pingsan di jalan,” jawab isteriku. “Lho, kok bilang gitu...?” “Iya, dalam kondisi muntah-muntah seperti ini kepala Ummi gampang pusing kalau mencium bau bensin. Apalagi ditambah berdesak? Desakan dalam dengan suasana panas menyengat. Tapi mudah-mudahan sih nggak kenapa? kenapa,” ucap isteriku lagi. “Ya sudah, kalau begitu naik bajaj saja,” jawabku ringan.
Pertemuan hari ini ternyata diundur pekan depan. Kesempatan waktu luang ini kugunakan untuk menjemput isteriku. Entah kenapa hati ini tiba-tiba saja menjadi rindu padanya. Motorku sudah sampai di tempat isteriku mengaji. Di depan pintu kulihat masih banyak sepatu berjajar, ini pertanda acara belum selesai. Kuperhatikan sepatu yang berjumlah delapan pasang itu satu persatu.
Ah, semuanya indah-indah dan kelihatan harganya begitu mahal. “Wanita, memang suka yang indah?indah, sampai bentuk sepatu pun lucu-lucu,” aku membathin sendiri. Mataku tiba-tiba terantuk pandang pada sebuah sendal jepit yang diapit sepasang sepatu indah. Dug! Hati ini menjadi luruh. “Oh....bukankah ini sandal jepit isteriku?” Tanya hatiku. Lalu segera kuambil sandal jepit kumal yang tertindih sepatu indah itu. Tes! Air mataku jatuh tanpa terasa. Perih nian rasanya hati ini, kenapa baru sekarang sadar bahwa aku tak pernah memperhatikan isteriku. Sampai-sampai kemana ia pergi harus bersandal jepit kumal. Sementara teman?temannnya bersepatu bagus. “Maafkan aku Maryam,” pinta hatiku. “Krek...,” suara pintu terdengar dibuka.
Aku terlonjak, lantas menyelinap ke tembok samping. Kulihat dua ukhti berjalan melintas sambil menggendong bocah mungil yang berjilbab indah dan cerah, secerah warna baju dan jilbab umminya. Beberapa menit setelah kepergian dua ukhti itu, kembali melintas ukhti-ukhti yang lain. Namun, belum juga kutemukan Maryamku. Aku menghitung sudah delapan orang keluar dari rumah itu, tapi isteriku belum juga keluar. Peantianku berakhir ketika sesosok tubuh berbaya gelap dan berjilbab hitam melintas. “Ini dia mujahidahku!” pekik hatiku. Ia beda dengan yang lain, ia begitu bersahaja.
Kalau yang lain memakai baju berbunga cerah indah, ia hanya memakai baju warna gelap yang sudah lusuh pula warnanya. Diam?diam hatiku kembali dirayapi perasaan berdosa karena selama ini kurang memperhatikan isteri.
Ya, aku baru sadar, bahwa semenjak menikah belum pernah membelikan sepotong baju pun untuknya. Aku terlalu sibuk memperhatikan kekurangan-kekurangan isteriku, padahal di balik semua itu begitu banyak kelebihanmu, wahai Maryamku. Aku benar-benar menjadi malu pada Allah dan Rasul-Nya. Selama ini aku terlalu sibuk mengurus orang lain, sedang isteriku tak pernah kuurusi.
Padahal Rasul telah berkata: “Yang terbaik di antara kamu adalah yang paling baik terhadap keluarganya.” Sedang aku..? Ah, kenapa pula aku lupa bahwa Allah menyuruh para suami agar menggauli isterinya dengan baik. Sedang aku...? terlalu sering ngomel dan menuntut isteri dengan sesuatu yang ia tak dapat melakukannya. Aku benar-benar merasa menjadi suami terdzalim!!! “Maryam...!” panggilku, ketika tubuh berabaya gelap itu melintas. Tubuh itu lantas berbalik ke arahku, pandangan matanya menunjukkan ketidakpercayaan atas kehadiranku di tempat ini. Namun, kemudian terlihat perlahan bibirnya mengembangkan senyum. Senyum bahagia. “Abi...!” bisiknya pelan dan girang.
Sungguh, aku baru melihat isteriku segirang ini. “Ah, kenapa tidak dari dulu kulakukan menjemput isteri?” sesal hatiku.
Esoknya aku membeli sepasang sepatu untuk isteriku. Ketika tahu hal itu, senyum bahagia kembali mengembang dari bibirnya. “Alhamdulillah, jazakallahu...,”ucapnya dengan suara tulus. Ah, Maryam, lagi-lagi hatiku terenyuh melihat polahmu. Lagi-lagi sesal menyerbu hatiku. Kenapa baru sekarang aku bisa bersyukur memperoleh isteri zuhud dan ‘iffah sepertimu?
Kenapa baru sekarang pula kutahu betapa nikmatnya menyaksikan matamu yang berbinar-binar karena perhatianku...?
5 Pelajaran Penting
Ini lima buah Pelajaran Berharga, yang sangat bagus untuk kita, mari kita renungkan bersama:
Pelajaran Penting ke-1,
Semuanya penting!!
Pada bulan ke-2 diawal kuliah saya, seorangProfesor memberikan quiz mendadak pada kami. Karena kebetulan cukup menyimak semua kuliah-kuliahnya,saya cukup cepat menyelesaikan soal-soal quiz, sampai pada soal yang terakhir.
Isi soal terakhir ini adalah : Siapa nama depan wanita yang menjadi petugas pembersih sekolah ?
Saya yakin soal ini cuma "bercanda". Saya sering melihat perempuan ini. Tinggi, berambut gelap dan berusia sekitar 50-an, tapi bagaimana saya tahu nama depannya...?
Saya kumpulkan saja kertas ujian saya, tentu saja dengan jawaban soal terakhir kosong. Sebelum kelas usai, seorang rekan bertanya pada Profesor itu, mengenai soal terakhir akan "dihitung" atau tidak. "Tentu Saja Dihitung !!", kata si Profesor.
"Pada perjalanan karirmu, kamu akan ketemu banyak orang. Semuanya penting!.
Semua harus kamu perhatikan dan pelihara, walaupun itu cuma dengan sepotong senyuman, atau sekilas "hallo"!
Saya selalu ingat pelajaran itu. Saya kemudian tahu, bahwa nama depan ibu pembersih sekolah adalah "Dorothy".
==================
Pelajaran Penting ke-2,
Penumpang yang Kehujanan
Malam itu, pukul setengah dua belas malam. Seorang wanita negro rapi yang sudah berumur, sedang berdiri di tepi jalan tol Alabama. Ia nampak mencoba bertahan dalam hujan yang sangat deras, yang hampir seperti badai. Mobilnya kelihatannya lagi rusak, dan perempuan ini sangat ingin menumpang mobil.
Dalam keadaan basah kuyup, ia mencoba menghentikan setiap mobil yang lewat. Mobil berikutnya dikendarai oleh seorang pemuda bule, dia berhenti untuk menolong ibu ini. Kelihatannya si bule ini tidak paham akan konflik etnis tahun 1960-an, yaitu pada saat itu.
Pemuda ini akhirnya membawa si ibu negro selamat hingga suatu tempat, untuk mendapatkan pertolongan, lalu mencarikan si ibu ini taksi. Walaupun terlihat sangat tergesa-gesa, si ibu tadi bertanya tentang alamat si pemuda itu, menulisnya, lalu mengucapkan terima kasih pada si pemuda.
7 hari berlalu, dan tiba-tiba pintu rumah pemuda bule ini diketuk seseorang. Kejutan baginya, karena yang datang ternyata kiriman sebuah televisi set besar berwarna (1960-an!) khusus dikirim kerumahnya.
Terselip surat kecil tertempel di televisi, yang isinya adalah: "Terima kasih nak, karena membantu ku di jalan Tol malam itu. Hujan tidak hanya membasahi bajuku, tetapi juga jiwaku. Untung saja anda datang dan menolong saya. Karena pertolongan anda, saya masih sempat untuk hadir disisi suami ku yang sedang sekarat...hingga wafatnya".
Tuhan memberkati anda, karena membantu saya dan tidak mementingkan dirimu pada saat itu"
Tertanda Ny.Nat King Cole.
*Catatan : Nat King Cole, adalah penyanyi Negro tenar thn. 60-an di USA
=======================
Pelajaran penting ke-3,
Selalulah perhatikan dan ingat, pada semua yang anda layani.
Di zaman eskrim khusus (ice cream sundae) masih murah, seorang anak laki-laki umur 10-an tahun masuk ke Coffee Shop Hotel, dan duduk di meja. Seorang pelayan wanita menghampiri, dan memberikan air putih dihadapannya. Anak ini kemudian bertanya, "Berapa ya,...harga satu ice cream sundae?" katanya.
"50 sen..." balas si pelayan.
Si anak kemudian mengeluarkan isi sakunya dan menghitung dan mempelajari koin-koin di kantongnya, "Wah... Kalau ice cream yang biasa saja berapa?" katanya lagi. Tetapi kali ini orang-orang yang duduk di meja-meja lain sudah mulai banyak dan pelayan ini mulai tidak sabar. "35 sen" kata si pelayan sambil uring-uringan. Anak ini mulai menghitungi dan mempelajari lagi koin-koin yang tadi dikantongnya.
"Bu... saya pesan yang ice cream biasa saja ya..." ujarnya.
Sang pelayan kemudian membawa ice cream tersebut, meletakkan kertas kuitansi di atas meja dan terus melengos berjalan. Si anak ini kemudian makan ice-cream, bayar di kasir, dan pergi.
Ketika si Pelayan wanita ini kembali untuk membersihkan meja si anak kecil tadi, dia mulai menangis terharu. Rapi tersusun disamping piring kecilnya yang kosong, ada 2 buah koin 10-sen dan 5 buah koin 1-sen.
Anda bisa lihat anak kecil ini tidak bisa pesan Ice-cream Sundae, karena tidak memiliki cukup untuk memberi sang pelayan uang tip yang "layak"
================================
Pelajaran penting ke-4,
Penghalang di jalan kita
Zaman dahulu kala, tersebutlah seorang Raja, yang menempatkan sebuah batu besar di tengah-tengah jalan. Raja tersebut kemudian bersembunyi, untuk melihat apakah ada yang mau menyingkirkan batu itu dari jalan. Beberapa pedagang terkaya yang menjadi rekanan raja tiba ditempat, untuk berjalan melingkari batu besar tersebut. Banyak juga yang datang, kemudian memaki-maki sang Raja, karena tidak membersihkan jalan dari rintangan. Tetapi tidak ada satupun yang mau melancarkan jalan dengan menyingkirkan batu itu.
Kemudian datanglah seorang petani, yang menggendong banyak sekali sayur mayur. Ketika semakin dekat, petani ini kemudian meletakkan dahulu bebannya, dan mencoba memindahkan batu itu kepinggir jalan.
Setelah banyak mendorong dan mendorong, akhirnya ia berhasil menyingkirkan batu besar itu. Ketika si petani ingin mengangkat kembali sayurnya, ternyata ditempat batu tadi ada kantung yang berisi banyak uang emas dan surat Raja. Surat yang mengatakan bahwa emas ini hanya untuk orang yang mau menyingkirkan batu tersebut dari jalan.
Petani ini kemudian belajar, satu pelajaran yang kita tidak pernah bisa mengerti. Bahwa pada dalam setiap rintangan, tersembunyi kesempatan yang bisa dipakai untuk memperbaiki hidup kita.
==========================
Pelajaran penting ke-5,
Memberi, ketika dibutuhkan
Waktu itu, ketika saya masih seorang sukarelawan yang bekerja di sebuah rumah sakit, saya berkenalan dengan seorang gadis kecil yang bernama Liz, seorang penderita satu penyakit serius yang sangat jarang. Kesempatan sembuh, hanya ada pada adiknya, seorang pria kecil yang berumur 5 tahun, yang secara mujizat sembuh dari penyakit yang sama.
Anak ini memiliki antibodi yang diperlukan untuk melawan penyakit itu. Dokter kemudian mencoba menerangkan situasi lengkap medikal tersebut ke anak kecil ini, dan bertanya apakah ia siap memberikan darahnya kepada kakak perempuannya. Saya melihat si kecil itu ragu-ragu sebentar, sebelum mengambil nafas panjang dan berkata, "Baiklah...saya akan melakukan hal tersebut asalkan itu bisa menyelamatkan kakakku".
Mengikuti proses tranfusi darah, si kecil ini berbaring di tempat tidur, di samping kakaknya. Wajah sang kakak mulai memerah, tetapi wajah si kecil mulai pucat dan senyumnya menghilang. Si kecil melihat ke dokter itu, dan bertanya dalam suara yang bergetar katanya, "Apakah saya akan langsung mati dokter?"
Rupanya si kecil sedikit salah pengertian. Ia merasa, bahwa ia harus menyerahkan semua darahnya untuk menyelamatkan jiwa kakaknya.
Lihatlah...bukankah pengertian dan sikap adalah segalanya??
Bagilah pengalaman Anda yang dapat memberikan hal2 positif bagi siapa saja. Memberi lebih baik daripada menerima.
Bekerjalah seolah anda tidak memerlukan uang,
Mencintailah seolah anda tidak pernah dikecewakan,
Menari dan menyanyilah seolah tidak ada yang menonton..
DALAM GELAPNYA MALAM, KITA JUSTRU DAPAT MELIHAT
INDAHNYA BINTANG.
Kirimkan untuk orang-orang yang Anda kasihi, walaupun dia adalah musuhmu!!
peace & love
Pelajaran Penting ke-1,
Semuanya penting!!
Pada bulan ke-2 diawal kuliah saya, seorangProfesor memberikan quiz mendadak pada kami. Karena kebetulan cukup menyimak semua kuliah-kuliahnya,saya cukup cepat menyelesaikan soal-soal quiz, sampai pada soal yang terakhir.
Isi soal terakhir ini adalah : Siapa nama depan wanita yang menjadi petugas pembersih sekolah ?
Saya yakin soal ini cuma "bercanda". Saya sering melihat perempuan ini. Tinggi, berambut gelap dan berusia sekitar 50-an, tapi bagaimana saya tahu nama depannya...?
Saya kumpulkan saja kertas ujian saya, tentu saja dengan jawaban soal terakhir kosong. Sebelum kelas usai, seorang rekan bertanya pada Profesor itu, mengenai soal terakhir akan "dihitung" atau tidak. "Tentu Saja Dihitung !!", kata si Profesor.
"Pada perjalanan karirmu, kamu akan ketemu banyak orang. Semuanya penting!.
Semua harus kamu perhatikan dan pelihara, walaupun itu cuma dengan sepotong senyuman, atau sekilas "hallo"!
Saya selalu ingat pelajaran itu. Saya kemudian tahu, bahwa nama depan ibu pembersih sekolah adalah "Dorothy".
==================
Pelajaran Penting ke-2,
Penumpang yang Kehujanan
Malam itu, pukul setengah dua belas malam. Seorang wanita negro rapi yang sudah berumur, sedang berdiri di tepi jalan tol Alabama. Ia nampak mencoba bertahan dalam hujan yang sangat deras, yang hampir seperti badai. Mobilnya kelihatannya lagi rusak, dan perempuan ini sangat ingin menumpang mobil.
Dalam keadaan basah kuyup, ia mencoba menghentikan setiap mobil yang lewat. Mobil berikutnya dikendarai oleh seorang pemuda bule, dia berhenti untuk menolong ibu ini. Kelihatannya si bule ini tidak paham akan konflik etnis tahun 1960-an, yaitu pada saat itu.
Pemuda ini akhirnya membawa si ibu negro selamat hingga suatu tempat, untuk mendapatkan pertolongan, lalu mencarikan si ibu ini taksi. Walaupun terlihat sangat tergesa-gesa, si ibu tadi bertanya tentang alamat si pemuda itu, menulisnya, lalu mengucapkan terima kasih pada si pemuda.
7 hari berlalu, dan tiba-tiba pintu rumah pemuda bule ini diketuk seseorang. Kejutan baginya, karena yang datang ternyata kiriman sebuah televisi set besar berwarna (1960-an!) khusus dikirim kerumahnya.
Terselip surat kecil tertempel di televisi, yang isinya adalah: "Terima kasih nak, karena membantu ku di jalan Tol malam itu. Hujan tidak hanya membasahi bajuku, tetapi juga jiwaku. Untung saja anda datang dan menolong saya. Karena pertolongan anda, saya masih sempat untuk hadir disisi suami ku yang sedang sekarat...hingga wafatnya".
Tuhan memberkati anda, karena membantu saya dan tidak mementingkan dirimu pada saat itu"
Tertanda Ny.Nat King Cole.
*Catatan : Nat King Cole, adalah penyanyi Negro tenar thn. 60-an di USA
=======================
Pelajaran penting ke-3,
Selalulah perhatikan dan ingat, pada semua yang anda layani.
Di zaman eskrim khusus (ice cream sundae) masih murah, seorang anak laki-laki umur 10-an tahun masuk ke Coffee Shop Hotel, dan duduk di meja. Seorang pelayan wanita menghampiri, dan memberikan air putih dihadapannya. Anak ini kemudian bertanya, "Berapa ya,...harga satu ice cream sundae?" katanya.
"50 sen..." balas si pelayan.
Si anak kemudian mengeluarkan isi sakunya dan menghitung dan mempelajari koin-koin di kantongnya, "Wah... Kalau ice cream yang biasa saja berapa?" katanya lagi. Tetapi kali ini orang-orang yang duduk di meja-meja lain sudah mulai banyak dan pelayan ini mulai tidak sabar. "35 sen" kata si pelayan sambil uring-uringan. Anak ini mulai menghitungi dan mempelajari lagi koin-koin yang tadi dikantongnya.
"Bu... saya pesan yang ice cream biasa saja ya..." ujarnya.
Sang pelayan kemudian membawa ice cream tersebut, meletakkan kertas kuitansi di atas meja dan terus melengos berjalan. Si anak ini kemudian makan ice-cream, bayar di kasir, dan pergi.
Ketika si Pelayan wanita ini kembali untuk membersihkan meja si anak kecil tadi, dia mulai menangis terharu. Rapi tersusun disamping piring kecilnya yang kosong, ada 2 buah koin 10-sen dan 5 buah koin 1-sen.
Anda bisa lihat anak kecil ini tidak bisa pesan Ice-cream Sundae, karena tidak memiliki cukup untuk memberi sang pelayan uang tip yang "layak"
================================
Pelajaran penting ke-4,
Penghalang di jalan kita
Zaman dahulu kala, tersebutlah seorang Raja, yang menempatkan sebuah batu besar di tengah-tengah jalan. Raja tersebut kemudian bersembunyi, untuk melihat apakah ada yang mau menyingkirkan batu itu dari jalan. Beberapa pedagang terkaya yang menjadi rekanan raja tiba ditempat, untuk berjalan melingkari batu besar tersebut. Banyak juga yang datang, kemudian memaki-maki sang Raja, karena tidak membersihkan jalan dari rintangan. Tetapi tidak ada satupun yang mau melancarkan jalan dengan menyingkirkan batu itu.
Kemudian datanglah seorang petani, yang menggendong banyak sekali sayur mayur. Ketika semakin dekat, petani ini kemudian meletakkan dahulu bebannya, dan mencoba memindahkan batu itu kepinggir jalan.
Setelah banyak mendorong dan mendorong, akhirnya ia berhasil menyingkirkan batu besar itu. Ketika si petani ingin mengangkat kembali sayurnya, ternyata ditempat batu tadi ada kantung yang berisi banyak uang emas dan surat Raja. Surat yang mengatakan bahwa emas ini hanya untuk orang yang mau menyingkirkan batu tersebut dari jalan.
Petani ini kemudian belajar, satu pelajaran yang kita tidak pernah bisa mengerti. Bahwa pada dalam setiap rintangan, tersembunyi kesempatan yang bisa dipakai untuk memperbaiki hidup kita.
==========================
Pelajaran penting ke-5,
Memberi, ketika dibutuhkan
Waktu itu, ketika saya masih seorang sukarelawan yang bekerja di sebuah rumah sakit, saya berkenalan dengan seorang gadis kecil yang bernama Liz, seorang penderita satu penyakit serius yang sangat jarang. Kesempatan sembuh, hanya ada pada adiknya, seorang pria kecil yang berumur 5 tahun, yang secara mujizat sembuh dari penyakit yang sama.
Anak ini memiliki antibodi yang diperlukan untuk melawan penyakit itu. Dokter kemudian mencoba menerangkan situasi lengkap medikal tersebut ke anak kecil ini, dan bertanya apakah ia siap memberikan darahnya kepada kakak perempuannya. Saya melihat si kecil itu ragu-ragu sebentar, sebelum mengambil nafas panjang dan berkata, "Baiklah...saya akan melakukan hal tersebut asalkan itu bisa menyelamatkan kakakku".
Mengikuti proses tranfusi darah, si kecil ini berbaring di tempat tidur, di samping kakaknya. Wajah sang kakak mulai memerah, tetapi wajah si kecil mulai pucat dan senyumnya menghilang. Si kecil melihat ke dokter itu, dan bertanya dalam suara yang bergetar katanya, "Apakah saya akan langsung mati dokter?"
Rupanya si kecil sedikit salah pengertian. Ia merasa, bahwa ia harus menyerahkan semua darahnya untuk menyelamatkan jiwa kakaknya.
Lihatlah...bukankah pengertian dan sikap adalah segalanya??
Bagilah pengalaman Anda yang dapat memberikan hal2 positif bagi siapa saja. Memberi lebih baik daripada menerima.
Bekerjalah seolah anda tidak memerlukan uang,
Mencintailah seolah anda tidak pernah dikecewakan,
Menari dan menyanyilah seolah tidak ada yang menonton..
DALAM GELAPNYA MALAM, KITA JUSTRU DAPAT MELIHAT
INDAHNYA BINTANG.
Kirimkan untuk orang-orang yang Anda kasihi, walaupun dia adalah musuhmu!!
peace & love
Langganan:
Postingan (Atom)