Laman

Barang siapa menanam, maka dia akan menuai

STOP IMPORT PENDIDIKAN

ROKI RANJANI SANJADIREJA, S.PD
Guru bahasa Inggris Niemba English Well dan SMK 17  Cilegon

HENTIKAN IMPORT PENDIDIKAN


Beberapa bulan yang lalu masyarakat Indonesia begitu ramai dengan berita impor daging sapi, bawang dan beras. Media masa ribut membahas gejolak ekonomi. Semua orang panik mendengar harga cabe rawit 70 ribu per kilo. Bahkan jengkol sempat 3 kali lipat harga ayam. Indonesia panik. Indonesia harus merevisi kebijakan impor dalam negeri, terutama sektor berikut, pendidikan.
Berapa banyak produk pendidikan masuk ke Indonesia. Bukan ratusan atau ribuan, tapi jutaan. Buku, modul, CD, kaset, situs yang bersumber dari luar. Sementara di dalam negeri, Indonesia belum mampu membuat satu pun ekspor dari sektor pendidikan.  Sekolah ternama menjadi bangga manakala mencantumkan logo Oxfort pada spanduknya, buku pelajaran lebih terpandang jikala Cambridge menjadi penerbitnya, atau Long Man, Marshall Cavendish dan lain sebagainya.
Lihatlah sekolah Jakarta yang berlomba menggaet kerjasama, misal TOEFL, dengan lembaga asing. Dengan biaya yang tinggi, serta iming-iming sertifikat berlogo, orang rela merogoh kocek ratusan hingga jutaan. Sementara dana dan visa mengalir sembunyi-sembunyi ke luar negeri.  Hingga saat ini tercatat pengadaan tes TOEFL yang diadakan oleh pihak asing memakan biaya hingga jutaan per orang. Sedangkan tes serupa yang diadakan oleh pihak lokal, dengan tanda kutip SAMA SAJA, hanya memakan biaya kurang dari seratus ribu. Maka penulis berfikir sesungguhnya Indonesia masih terjajah diam-diam oleh ketidak mampuannya bersaing.
Ribuan sarjana yang lulus masih belum cukup membuat standar baku untuk tes bahasa Inggris. Bahkan untuk modul pun masih berlogo luar. Cek lah sekolah dengan papan nama atas, dari mana buku paket bahasa Inggrisnya? Kenapa bukan buku dari dalam negeri? Kenapa harus dari impor yang notabene terkadang terkandung unsur bertolak belakang dengan nilai luhur dan akidah?
Belum ada nama dalam negeri yang populer dalam pendidikan menjadi tantangan perubahan. Oxford dan Cambridge mendunia dari produknya yang berstandar, buku-buku terbitan dengan kualitas prima, dicetak dengan kertas terbaik, diilustrasikan oleh seniman terbaik, disusun oleh tim terbaik. Mereka memulainya lebih awal. Jauh saat pasar pendidikan masih sepi. Indonesia belum.
Penulis khawatir jika logo sudah tertanam lebih dalam seperti minuman soda (Karena belum ada minuman soda bermerek lokal terkenal), maka dominasi pasar akan jauh lebih sulit dimenangkan oleh dalam negeri. Bila brand pendidikan luar menancap pada pelajar Indonesia, siapa yang akan membela negara kita? Terburuk, bila Indonesia lebih membanggakan produk impor ketimbang produk lokal.

Tulisan ini merupakan ajakan. APBD negara lebih dari cukup untuk mem-branding-kan merek lokal ke dunia. Ditambah generasi muda Indonesia yang sudah mampu berprestasi di tingkat dunia, kita bisa. Dimulai dengan membuat buku dengan kualitas yang sama, hapus impor pendidikan. Negara Indonesia harus mandiri. Guru-gurunya harus banyak berkarya. Dimulai dari sebuah blog, kemudian website dan jaringan. Hentikan impor pendidikan, stop! Sebelum pasar pendidikan jadi tidak terkendali seperti harga bawang yang setara satu gram emas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Thank you :)