Ringin, remaja kribo yang lahir di keluarga kurang
mampu. Dia hidup bersama ibunya yang tua, yang kadang terbatuk-batuk terlanjur
dimakan usia. Mereka hidup bersahaja. Ringin bersama teman-temannya bekerja
sebagai buruh serabutan. Kerja sana-sini, tidak menentu. Bila ada pekerjaan,
dipanggil. Bila tidak, pekerjaannya berkumpul di warung kecil pinggir jalan.
Seperti remaja pada umumnya, Ringin memiliki
cita-cita. Ingin hidup mewah, makan enak, ada yang menyampokan rambutnya setiap
hari dan tidur di kasur yang empuk. Selama ini kasurnya terbuat dari anyaman
bambu sehingga setiap bangun tidur, ada tato yang menempel di kulitnya.
Seluruh penduduk tahu, raja di kerajaan ini hanya ada
satu. Orangnya tegap, berbadan besar dan rupawan. Sementara Ringin berbadan
kecil, kurus, kering dan banyak jerawatnya pula. Sejak kecil Ringin diajarkan
untuk sabar dan tekun. Berprinsip seperti kupu-kupu yang hidupnya dimulai dari
ulat hina hingga bermetamorfosa menjadi Cinderella. Ibunya menasihati agar
menjadi orang yang jujur. Kelak kejujuran akan membuahkan hasil yang manis.
Tapi kapan Ringin bisa menjadi raja?
Di sudut lain, seorang raja gusar dengan
permasalahannya. Dia sudah terlalu tua untuk memimpin dan tidak memiliki
keturunan. Sang raja hendak mewariskan tahta kerajaannya kepada seseorang yang
dapat ia percaya. Lalu sang raja mengadakan sayembara.
Para prajurit menempel kertas kuning bertuliskan,
“Dicari seorang pemimpin masa depan. Syarat berbadan sehat, usia minimal 17
tahun, tidak terlibat sengketa kerajaan, berprilaku baik dan lulus tes.” Tidak
ada syarat harus berambut lurus. Ringin bahagia bisa ikut sayembara.
Ringin dan teman-temannya tidak yakin dengan apa yang
mereka baca. Ada kesempatan menjadi seorang raja yang sudah lama dia
idam-idamkan! Dia menampar-nampar wajahnya untuk meyakinkan ini bukan mimpi.
Ketika tamparan itu terasa sakit, dia tahu kalau hari itu, tulisan dikertas itu
nyata. Tapi dia masih belum yakin. Dia tampar pipi temannya untuk memastikan
temannya itu asli. Dan ternyata mereka semua asli. Bukan buatan Cina.
Ringin bersegera memenuhi panggilan raja. Siang hari
siapa pun yang memenuhi syarat berhak mengikuti tes. Lebih dari seribu orang
memenuhi stadium utama. Orang mana yang tidak mau jadi raja. Hidupnya leha-leha
dan punya penghasilan besar. Tidak sepertinya. Bekerja keras, namun penghasilan
pas-pasan.
Raja mengumumkan, hanya ada satu tes sederhana, yaitu setiap
orang harus merasakan jerih payah menjadi petani.
Raja membuka kontesnya dengan memberi instruksi
bagaimana kompetisi ini harus berjalan. “Barang siapa yang hendak menjadi raja,
dan ia berniat menjadi raja yang baik, dia harus dekat kepada rakyatnya.”
Tangan kanannya memegang kantung hitam. “Wahai rakyatku, di tanganku terdapat
biji. Ini adalah tiket kalian menjadi raja. Masing-masing dari kalian akan
diberikan satu kantung penuh untuk ditanam. Setelah satu tahun, aku ingin
melihat siapa yang bisa menjaga amanah raja. Bawa kembali! Barang siapa yang
bisa menanam pohon paling besar, dia yang akan menang!” Suara terompet bergema.
Sayembara dimulai. Orang-orang mengantri, panjang berkilo-kilo untuk mengambil
sekantung benih.
Keesokan harinya Ringin menanam dalam pot
kesayangannya. Benih itu disiram, diberi pupuk dan dijemur. Dia menaruh harapan
pada benih yang ditanamnya itu.
Hari berganti. Satu minggu berlalu. Sahabat Ringin
datang mengunjungi rumahnya. Dia bercerita tentang si Harun, temannya yang
lain, yang tanamannya sudah berkuncup. Tunas kecil sudah tumbuh dari potnya.
Temannya yang lain, Tupul, sudah mengeluarkan akar dari dalam potnya. Pot Ringin
juga sama. Ada tunas kecil sekali. Mungil, berdaun tunggal dan hijau. Ringin
gembira.
Kurang lebih satu bulan Ringin merawat tanamannya,
tapi kok aneh. Benih yang Ringin tanam nampak seperti rumput liar yang mana
rumput liar tidak tumbuh melalui biji. Dia gali tanahnya dan ternyata dugaannya
tepat. Benihnya masih terkubur di sana. Yang tumbuh bukanlah benih tadi,
melainkan hanya rumput biasa. Ringin kecewa.
Bulan pertama dia rasa gagal. Dia ditertawakan
teman-temannya ketika bercerita kalau tanaman yang tumbuh ternyata hanya sebuah
rumput liar. Akhirnya dia harus menanam dari awal lagi. Dia mulai dengan
membaca doa seperti Baim dalam lagu Catatanku.
Setiap hari dia siram, jemur. Menjelang sore, dia masukan
ke dalam rumah. Dia jaga dari hewan perusak tanaman dan hama. Tidak boleh
sejengkal pun ayam tetangga masuk ke pelataran rumah. Begitu ayam menyentuh
pagar Ringin, dia langsung menjalak.
Dia berikan pupuk agar pertumbuhannya optimal. Begitu
dengar dari teman-temannya bahwa musik
membantu tumbuh kembang tanaman, dia beli MP3 bajakan dan dia setel lagu
dangdut kesukaannya. Ajaib tanamannya tumbuh, tumbuh di dalam khayalnya seolah
pohon lebat tumbuh. Tapi Ringin tidak patah semangat, dia masih menggali
kemungkinan agar dapat menumbuhkan tanaman sesungguhnya.
Enam bulan berlalu cepat. Ibunya sakit keras, batuknya
berdarah. Ringin panik. Dia tidak tahu harus kemana. Melihat Ringin panik,
ibunya meminta untuk mendekatkan telinga ke mulutnya. Dia mengelus kepala
seolah Ringin masih seperti Ringin yang dulu kecil. Ibu memeluk Ringin dan
membisikan kata-kata terakhirnya. “Ringin, ibu sudah berusaha sebisa ibu untuk
membesarkanmu dengan baik. Lihat potmu, masih kosongkan?” Ibu itu meledek.
“Pot ibu sudah tumbuh besar dengan daun yang rindang, pot ibu adalah kamu Ringin.” Ringin merinding. Dia tahu ini akan menjadi wasiat terakhirnya. “Dengar Ringin, apa pun yang terjadi, ibu bangga mempunyai anak sepertimu. Kau pintar. Rajin. Soleh. Berbakti kepada orang tua dan jujur. Hanya itu yang bisa ibu wariskan. Semoga kau bisa mewariskan nilai-nilai luhur yang diwariskan oleh para nabi kepada anak cucumu. Ibu bangga kepadamu. Ibu bangga.”
“Pot ibu sudah tumbuh besar dengan daun yang rindang, pot ibu adalah kamu Ringin.” Ringin merinding. Dia tahu ini akan menjadi wasiat terakhirnya. “Dengar Ringin, apa pun yang terjadi, ibu bangga mempunyai anak sepertimu. Kau pintar. Rajin. Soleh. Berbakti kepada orang tua dan jujur. Hanya itu yang bisa ibu wariskan. Semoga kau bisa mewariskan nilai-nilai luhur yang diwariskan oleh para nabi kepada anak cucumu. Ibu bangga kepadamu. Ibu bangga.”
Ibu menutup mata selamanya. Ringin menangis tersedu
sedan.
Selama seminggu potnya tidak dia perhatikan. Dia
mencoba meratapi nasib duduk di pelataran rumah. Tenggelam dalam kesedihan
setelah ditinggal oleh orang yang paling dicintainya. Pada akhirnya dia
putuskan untuk memulai semuanya dari awal. Dia buang semua tanah dalam pot. Dia
ganti yang baru. Komposisinya dia ganti. 80% tanah, 20% pupuk. Pagi dia jemur,
siang dia bawa masuk. Seminggu sekali diberi susu, sebulan sekali diberi madu.
Semua dia lakukan agar tanaman apa saja yang terkandung dalam benih bisa
tumbuh. Itu harapannya. Dia berharap semoga dia bisa menjadi kebanggaan ibunya.
Singkat cerita, waktu berlalu. Satu tidak terasa
begitu cepat. Teman-temannya dengan bangga memamerkan hasil budi daya mereka.
Ada yang berbentuk seperti bonsai. Kecil, kontet dan imut-imut. Ada pula yang
besar berbuah lebat. Strawberry, nanas, melon, pepaya dan lain-lain. Ada yang
menghasilkan bunga yang cantik. Harum berwarna-warni.
Raja berkeliling. Di lapangan hijau raja memantau
langsung siapa yang berhak menjadi penerus tahta. Raja mangguk-mangguk melihat
tanaman yang dibawa banyak orang. Beliau cukup berkesan melihat pohon kecil
yang langka. Wave of love, gelombang cinta. Tidak dia sangka dia bisa melihat
tanaman itu di sini. Raja sungguh senang.
Satu per satu tanaman dia nilai. Raja berkeliling
bersama 3 orang lain yang merupakan ahli tanaman. Bentuknya, warnanya,
ukurannya, buahnya, daunnya, batangnya, semua jadi topik pembicaraan.
Lapangan itu benar-benar terjemur terik matahari.
“Coba lihat, buah melon! Aku suka sekali melon,” kata
raja. “Hey lihat, apel malang! Buah yang selalu kumakan sewaktu kecil. Boleh
kuminta?” “Hei hei hei, coba lihat! Apakah itu jambu batu? Alangkah besar
sekali. Aku tidak mengira salah satu biji yang kuberikan adalah jambu batu!”Raja
tampak senang dengan pohon berbuah. Raja tersenyum melihat rimbunnya tanaman
hijau hingga ia melihat pot Ringin yang kosong.
“Anak muda, apa yang kau bawa?”
“Pot tuan.”
“Mana tanamanmu?”
“Saya tuan,” memungkiri tanamannya yang kosong.
“Hah, dengan pot kosong kau kira kau bisa menjadi
raja?”
“Aku sudah mencobanya baginda namun benihnya tidak
tumbuh.”
Raja itu tertawa. Seluruh masyarakat yang ikut dalam
sayembara pun menertawakan Ringin. Semuanya, tidak terkecuali sahabat baiknya.
Melihat Ringin yang berwajah serius raja itu berhenti
tertawa.
“Anak muda, kamu tahu kenapa aku tertawa?”
“Karena saya bodoh?”
“Hah, bukan. Bukan itu.”
Ringin keheranan.
“Aku tertawa karena aku sudah menemukan siapa
penggantiku. Siapa orang yang cocok menggantikan tahtaku duduk di kursi empuk.
Kau anak muda.”
Seluruh hadirin berkata ‘O’. Mereka bergunjing satu
sama lain.
Raja berbalik arah, dia mengangkat tinggi kedua
tangannya dan berkata, “Wahai pendudukku, sejak saat ini aku sudah bukan raja
kalian lagi. Anak ini...” raja menoleh kepada Ringin, “Siapa namamu?”
“Ringin baginda.”
“Baik. Anak ini, Dingin! Dia akan menggantikanku
menjadi raja!” raja mengangkat tangannya. Dia salah menyebutkan nama.
“Tapi baginda, saya rasa, saya belum layak menjadi
seorang raja.”
Raja berkata, “Nak, Ringan,” salah menyebut lagi.
“Kamu adalah tanaman terhebat yang pernah tumbuh di negeri ini. Kamu pantas
mendapatkannya,” tangan raja menepuk-nepuk pundaknya.
“Tapi baginda, bagaimana bisa? Tanaman kami lebih
bagus darinya. Kenapa baginda memilihnya?” salah seorang peserta keluar dari
tengah kerumunan dan protes. Dia sudah menghabiskan jutaan dolar untuk
tanamannya.
Raja itu kemudian tertawa keras. Dia terbahak-bahak
mendengar kalimatnya. Raja berkata, “Lebih bagus katamu? Yang benar saja? Benih
yang kuberikan sudah kurebus. Tidak mungkin akan pernah tumbuh. Sedangkan anak
ini, Rimin, memiliki hati yang meneduhkan negeri ini.” Ringin maklum karena
raja sudah tua.
Itu lah hari ketika Ringin belajar kalau kejujuran
meneduhkan hati. Ringin belajar, kejujuran, walau awalnya pahit, tapi akhirnya
akan berbuah manis. Orang jujur selalu untung, cepat atau lambat, kejujuran
akan membawa pada kedamaian. Ringin belajar kalau kejujuran berbuah manis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Thank you :)