Laman

Barang siapa menanam, maka dia akan menuai

Kiai dengan 2 Pedang


Disuatu desa, berdirilah suatu pesantren besar yang terkenal diseluruh Manca Negara. Pesantren itu terkenal karena hampir semua lulusannya menjadi orang-orang hebat dan memegang peran penting dimasyarakat. Salah satu santrinya pernah menjadi kepala negara 15 tahun silam. Beberapa adalah pembisnis ulung yang mempunyai jaringan bisnis di seluruh dunia. Mereka terkenal bukan karena kejeniusan, melainkan karena kerja keras dan kegigihannya. Dapat dipastikan bahwa lulusan dipesantren tersebut tidak kalah dengan lulusan Harvard atau Oxford.
Pada suatu hari, bapak kiai sekaligus pendiri pesantren ini mengumpulkan santrinya didalam aula. Akan digelar sebuah acara penyambutan santri baru kala itu. Tertulis besar diatas spanduk putih.
“Selamat Datang Para Penimba Ilmu.”
Tempat: “Aula”
Tema: “Ra-ha-sia”
Mojokerto, Agustus 2010

“Kenapa temanya dirahasiakan?” celetuk seorang santri baru. Saat itu, terkumpul kurang lebih 200 orang dalam aula ber-AC alam.
Suasanapun menjadi sedikit ramai dengan bisikan-bisikan para santri yang saling berkenalan. Beberapa mencoba menarik perhatian dengan membahas isu-isu seputar pesantren, “Kamu sudah lihat kiai kita?” “Kata ibuku dia ga mempan sama peluru loh” seorang santri mulai bergosip. “Ada yang bilang dia punya keris dirumahnya” tambah seorang santri. “Sttt, jangan ngomong yang engga-engga, kita disini untuk belajar”  tampih santri yang berwajah tawadhu’.
Tidak lama kiai tersebut muncul sambil membawa sebilah pedang, golok dan sebuah balok kayu yang besar. Kurang lebih, ukuran baloknya, hampis setinggi orang dewasa. Dengan memanggul kayu itu sendirian kiai tersebut maju kepanggung. Diletakkan balok kayu besar, pedang dan golok disamping podium. Terlihat jelas pedang yang dibawa kiai adalah katana dari jepang. Pedang katana berasal dari Jepang, dan golok berasal dari Ciomas. Pertama-tama kiai tersebut mengeluarkan katana dari Jepang.
“Sring!” suara tajam katana membuat bulu kuduk merinding. Saat dikeluarkan dari sarungnya, terlihat pedang itu terurus dengan baik. Warna peraknya memantulkan cahaya kemuka santri. Keadaan menjadi sedikit mencekam. Dengan kuda-kuda seperti samurai, pak kiai mengayunkan pedangnya. Perlahan dia menaikan tempo kecepatan gerakan. Mengibas-ngibaskan katana yang tajam itu seperti tongkat pramuka. Dia maju kedepan, mundur kebelajang. Maju lagi, mundur lagi. Diakhir kemudian dia rapatkan kakinya dan menutup kembali pedang katana tanpa membuka mata, “Sring”.
Yang kedua adalah golok dari ciomas. Golok itu terlihat biasa saja. Bahkan kalau diperhatikan gagangnya sudah berkarat. “Krak” suara golok begitu dikeluarkan dari sarangnya. Seperti gagangnya, isinya pun ternyata sudah berkarat. Besinya sudah berwarna kuning. Melebihi warna gigi yang jarang disikat. Sepertinya golok itu ditemukan ditempat sampat atau sesuatu. Tapi mengapa kiai tersebut mengeluarkan sebilah golok tua? Apa dia akan mengadukannya dengan katana?
Sebelum beraksi dengan pertunjukan utama, kiai tersebut bergerak layaknya pendekar. Dengan golok ditangan kanan beliau sigap maju ke depan. Membuka kuda-kuda serendah dan selebar mungkin. Kali ini beliau terlihat lebih serasi, maksudku sama-sama tua dengan yang dibawa “Hiaatt!” pekik pak kiai sambil menghentak tanah. Kami bergetar melihat semangatnya begitu membara. Kiai kembali mengoyang-goyangkan goloknya, kali ini gayanya berbeda. Gerakannya sama persis seperti film si Pitung tahun 1980an. “Ciaat!” teriaknya kembali menutup atraksinya, dan “krek” suara golok yang dimasukan kedalam sarung.
“Wahai santriku, akan ku tunjukan keahlianku kepada kalian. Keahlian ini dahulu pernah mengusir Belanda dari kampoeng kita. Keahlian yang bisa menggetarkan bumi. Tanpa keraguan, jika kalian mempelajarinya, kalian akan disegani. Bahkan peluru akan takut bertemu kalian”. “Betulkan aku bilang!“ seru santri yang tadi bercerita kepada temannya.
Kemudian kiai tersebut kembali mengeluarkan katana dari sarungnya “Sring”. Di hadapanya ada sebuah balok kayu besar. Nampak kiai tersebut berniat membelahnya menjadi dua. Di genggam erat pedang itu dengan kedua tangannya. Dan dalam satu konsentrasi yang tinggi, Zzzt. Apa yang terjadi? Apakah kayunya patah?
Tidak. Kayunya lebih kokoh dari sabetan kiai. Beliau ini tidak putus asa. Kali ini dia mundur beberapa langkah. Maju dengan langkah besar dan dalam sepersekian detik Zzzt, kembali ia menebaskan katananya kearah kayu. Apakah kali ini patah? Tidak. Kayunya tetap tidak patah. Sebelum percobaannya yang ke-3. Kiai tersebut menarik nafas panjang dan menutup pedang itu kembali. Keadaan hening. Yang ke-3 ini sepertinya akan menjadi pamungkasnya. Dia berdiri dengan kuda-kuda seorang samurai. Dia membuka ruang dan bernafas perlahan. Perlahan tapi pasti, tangannya menggenggam batang katana. Dan dalam hitungan detik, Zzzzttt. Pedang berpindah
Kali ini kiai mengambil pedang yang yang ke dua, golok dari ciomas “krak”, suara golok dicanut dari darungnya. Kiai terdiam, beliau menutup mata dan mengangkat golok itu tinggi-tinggi. Lalu dalam sepersekiandetik. Zrrit. Apakahkayunya patah? Tidak, janya sedikit garetan tepat disisi diurat kayu lagi. Kali ini kiai mundur beberapa meter. Kemudian berlari cepat kilat menyongsong balok kayu yang besar dan kuat. Dan,,, Zzzt Apakah kayunya patah? Tidak juga. Garetan bertambah jadi dua. Yang ketiga, kiai diam dan dalam beberapa detik tidak ada tanda-tanda pergerakan, mulutnya sibuk berkomat membaca surat-surat didalam Al-Qur’an. Setelah sekian lama, matanya mulai terbuka perlahan,
Memegang balok kayu yang besar dengan tangan kirinya. Sementara tangan kanannya terangkat tinggi dan gemetar seolah ada tenaga maha dahsyat tangan kiai tersebut bergoyang dengan kerasnya. Dan, “TAK!” suara golok karatan dan kayu beradu, TIDAK PATAH.Namun kiai tersebut tidak berhenti. Dia terus memukul balok kayu tersebut dengan golok berkali-kali. Wajah kiai tersebut berubah. Semula terlihat segar bugar kini mulai memerah. Bajunya yang kering menjadi basah, termasuk keriaknya. Dia terus melantunkan takbir ”Allahuakbar! Allahuakbar! Allahuakbar!”. Tidak berhenti si kakek terus memukul balok kayu itu hingga akhirnya menipis. Dengan satu hentakan kuat, kayu besar pun terbelah menjadi dua.
Sang  kiai mengankat dua balok kayu itu. Terkihat jelas wajahnya memerah dan nafasnya terengah-engah. Dengan lantang kiai tua berkata, “Santriku sudah kalian saksikan kesaktian ku. Kesaktian yang tiada duanya. Kesaktian yang menggetarkan bumi. “Inilah kesaktian dari sebuah kemauan“. Jeda
“Sesungguhnya didalam jiwa kita bersemayam sebuah pedang. Tapi kita tidak pernah tahu apakah itu berbentuk pedang, golok, keris, arang atau sebagainya. Dan bilapun kita tahu, maka sebenarnya itu tidak terlalu penting, karena sesungguhnya yang kita butuhkan adalah kemauan. Dengan kemauan yang keras apapun bisa dipatahkan. Batu besar, kayu tebal, air terjun. Bahkan gunung sekalipun. Semua bisa dipatahkan. “Where there’s a will, there‘s away”. “dimana ada kemauan, di situ ada jalan”. Kiai tersebut turun dari panggung dengan sempoyongan. Faktor usia tidak dapat ditutupi. Para santri bersorak dengan kencang sampai kiai hilang dari pandangan.

2 komentar:

Thank you :)