Laman

Barang siapa menanam, maka dia akan menuai

Akhlak dan Moral bagi Seorang Anak

Seorang anak di daratan Amerika hidup dalam kemiskinan yang berkepanjangan. Seolah kemiskinan belum cukup menimpanya, sang anak masih harus menerima kenyataan pahit bahwa ibu yang sangat dicintainya harus pergi untuk menghadap Yang Maha Kuasa. Meskipun hidup dalam kemiskinan, sang anak mempunyai keperdulian yang sangat besar terhadap pelajaran. Ia selalu belajar dengan rajin dan tekun hingga akhirnya kondisi ekonomi memaksa sang anak untuk berhenti dari sekolah formal, hanya satu tahun sang anak mengenyam pendidikan formal. Berhenti dari sekolah formal bukan berarti berhenti untuk belajar. Dengan kemampuan membaca dan menulis yang dimilikinya, sang anak terus belajar, belajar, dan belajar dengan giat hingga akhirnya ia bisa menjadi orang yang sukses. Tak hanya sukses, sang anak pun menjadi seseorang yang mampu merubah bangsanya dan dunia. Anak miskin yang diceritakan di atas adalah Abraham Lincoln, presiden pertama Amerika Serikat.

Abraham Lincoln adalah seorang presiden yang telah merubah amerika bahkan dunia. Ia menjunjung tinggi kebebasan bagi kaum kulit hitam Amerika yang  bertahun-tahun diperlakukan sebagai budak. Dukungannya terhadap kebebasan kaum kulit hitam mencerminkan bahwa ia adalah seseorang yang memiliki moral dan akhlak yang baik

Dari kisah Abraham Lincoln, kita semua dapat melihat betapa pentingnya pendidikan dan moral yang baik bagi seseorang. Dengan pendidikan yang memadai dan moral yang baik, seorang anak yang bukan apa-apa dapat menjadi seseorang yang besar dan sukses di masa depan, bahkan dapat merubah dunia. Pendidikan dan moral yang baik dapat diberikan kepada seorang anak sejak usia dini, yakni melalui keluarga. Di dalam keluarga, seorang anak dididik dan dibentuk. Ia diberikan pelajaran tentang moral dan akhlak mengenai apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, apa yang pantas dan tidak pantas dilakukan. Melalui keluarga juga seorang anak disiapkan untuk masuk dalam lingkungan luar, termasuk lingkungan sekolah.

Melalui sekolah, seorang anak dididik untuk tahu dan mengerti tentang segalanya, ilmu sosial, alam, berhitung, nalar, dan logika. Sangat jarang mereka belajar tentang akhlak dan moral. Sekolah-sekolah lebih mengutamakan dan mementingkan berapa angka yang harus didapatkan oleh anak muridnya untuk sebuah mata pelajaran. Mereka kerap lebih berorientasi pada hasil bukan pada proses bagaimana seorang anak menjadi tahu dan mengerti tentang sesuatu. Bahayanya, nilai atau budaya ini terbawa ke rumah dan membuat keluarga atau orang tua kerap menekankan kepada anaknya untuk selalu belajar pelajaran sekolah yang lebih banyak dan sang anak mendapatkan nilai yang bagus. Mereka lupa bahwa ada hal yang lebih penting dari semua itu, yakni proses dari tahu menjadi tidak tahu.

Orang tua atau keluarga yang sudah “Menganut” budaya bahwa nilai mata pelajaran di sekolah lebih penting dari proses bagaiamana anaknya menjadi tahu tentang sesuatu kerap menambah jam pelajaran sang anak dengan memasukkannya ke dalam lembaga belajar atau lembaga kursus informal. Mereka rela membayar mahal lembaga-lembaga kursus hingga jutaan rupiah dan biaya ini lebih mahal dari biaya sekolah formal, terutama sekolah negeri.

Waktu belajar yang semakin banyak, tekanan yang tinggi dari lingkungan dan keluarga untuk mendapatkan nilai yang bagus membuat seorang anak menjadi stres. Sedikitnya pendidikan moral dan akhlak dari sekolah membuat seorang anak tidak mampu menghadapi tekanan-tekanan yang datang pada dirinya. Hal ini membuat anak-anak itu melakukan tindakan-tindakan yang dianggap menyimpang dari masyarakat, seperti tawuran antar sekolah, pergaulan bebas, pemakaian obat-obatan, dan tindakan anarkis sesama teman sekolah.

Menurut Al-Ghazali akhlak adalah sesuatu yang menetap dalam jiwa dan muncul dalam perbuatan dengan mudah tanpa memerlukan pemikiran terlebih dahulu. Menurut Aa Gym akhlak adalah spontanitas seseorang. Akhlak bukanlah perbuatan, kekuatan, dan ma’rifah. Akhlak adalah “haal” atau kondisi jiwa dan bentuknya bathiniah. Dari penjelasan Al-Ghazali dan Aa Gym, hal yang harus kita lakukan dalam membentuk akhlak seorang anak agar memiliki akhlak dan bagus sehingga tidak melakukan hal-hal yang dianggap menyimpang dari masyarakat adalah dengan memperdalam pendidikan agama mereka.

Memperdalam pendidikan agama dalam sebuah institusi sekolah atau pendidikan bukan berarti merubah sistem yang ada menjadi sebuah sekolah atau lembaga pendidikan agama. Hanya saja, porsi atau jam pelajaran pendidikan agamanya harus ditambah. Selain menambah jam pelajaran pendidikan agama, hal terpenting lainnya adalah cara atau metode untuk mengajar pelajaran agama tersebut. Stigma yang ada dalam kepala anak-anak jaman sekarang, pelajaran agama adalah pelajaran yang membosankan dan tidak terlalu penting dibandingkan pelajaran bahasa inggris, matematika, kimia, fisika, akuntasi, dan sebagainya. Dalam pandangan mereka, pelajaran agama tidak bisa digunakan untuk mencari kerja. Oleh karena itu, sekolah atau lembaga pendidikan harus bisa membuat pelajaran agama menjadi pelajaran yang menyenangkan. Banyak cara dan metode untuk melakukan hal itu, salah satunya adalah metode pelajaran dua arah, dimana siswa dapat menyampaikan pandangannya tentang suatu nilai dilihat dari sisi agama yang dipahaminya. Dengan kata lain, metode yang harus dilakukan di sini adalah metode diskusi atau dua arah.

Perlu kita ingat, agama bukanlah sesuatu yang kaku namun juga bukan sesuatu yang dapat diubah-ubah.
Dengan memperdalam pendidikan agama, diharapkan seorang anak mendapatkan keseimbangan antara pendidikan duniawi dan religius. Seperti yang dikatakan oleh nabi Muhamad SAW, “Kejarlah duniamu seakan-akan kamu hidup seribu tahun lagi, tapi beribadahlah kamu seakan-akan kamu akan mati esok.”

By: Yudi Suprianto for Niemba English Well

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Thank you :)