Laman

Barang siapa menanam, maka dia akan menuai

Bus reot, restoran, dan kloset mampat

Oleh Anas Al Lubab
Entah mengapa akhir-akhir ini pikiran saya selalu terngiang-ngiang tiga hal yang saya sebutkan di atas. Mungkin wajar, mengingat angkutan umum ke rumah saya di kampung Sumurbatu Cikeusik dari terminal Pakupatan Serang memang tidak semulus angkutan umum perkotaan seperti jurusan Jakarta atau Bandung. Hanya ada satu dua damri dan dua bus setiap harinya itu pun dengan penumpang yang selalu sesak berjejal dengan jarak tempuh 4 hingga 5 jam. Ada pun soal restoran, meskipun saya berasal dari kampung sekali dua kali ya pernah numpang makan (haha), sementara kloset mampat adalah hal yang paling menjengkelkan. Bagaimana tidak, sedang kebelet hendak buang hajat kita harus melihat kotoran mengambang (maaf).

Tiga hal di atas umumnya pernah kita alami, atau paling tidak kita dengar dari pengalaman orang lain. Lalu apa yang sebenarnya ingin saya bicarakan,
sebagai orang awam yang tidak banyak memamah teori, saya tidak bisa menulis seperti orang-orang yang bisa menyajikan hasil penelitian secara logis dan sistematis membeberkan sejumlah angka-angka prediktif hasil survey yang dibumbui analisis pendapat para pakar. Ya, yang ingin saya bicarakan hanya hal-hal sederhana saja, menyangkut hal-hal keseharian. Saya tidak akan menuliskan ulang pengalaman bagaimana menderitanya menumpangi bus reot dengan penumpang sesak berjejal, makan enak di restoran bersama rekan bisnis atau orang spesial, atau mengalami kejadian kloset mampat di kamar mandi rumah kita. Saya hanya ingin menyampaikan sedikit hasil renungan saya tentang tiga hal itu. Yang mungkin bisa bermanfaat sebagai bahan refleksi kita bersama. Karena seperti kata Socrates, filsuf Yunani yang rela menenggak racun demi membela keyakinannya itu, hidup yang tidak melalui proses permenungan adalah hidup yang tak layak untuk dijalani. Mari mengingat kembali tiga hal di atas sambil merenungkan tiga hal di bawah ini.

Bus Reot
Bus reot atau Mobil butut yang pernah kita tumpangi itu ibarat agama yang kita pilih atau kendarai. Di dalamnya kita menemukan begitu banyak karakter—sikap keberagamaan—yang tidak sama dengan kita. Ada ayam yang bau apek, asam keringat dan asap rokok, anak kecil yang merengek-rengek minta netek, ibu-ibu yang bawel dan mabuk kendaraan. Kondektur yang arogan pasang tarif seenak udel, supir yang ugal-ugalan. Itu mengingatkan kita untuk legowo terbuka menerima segala perbedaan. Atau yang sering disebut sebagai toleransi, tasamuh, tenggangrasa, tepaselira, pluralisme, dan ungkapan mentereng lainnya. kita belum dikatakan beriman atau menjalankan agama dengan baik jika belum mampu hidup damai berdampingan dengan segala perbedaan, sekali pun itu kadang menyesakan. Bukankah perbedaan adalah hikmah. Agama adalah alat transfortasi menuju tempat tujuan. Bukan darimana kita berasal, melainkan hendak kemana kita menuju. Ibarat bus reot yang kita tumpangi, begitu pun kehidupan keberagamaan, kita mungkin tidak akan sampai ke tempat tujuan (Tuhan) jika kita hanya mengharapkan kedamaian tanpa ikhlas dan bersabar menerima ujian perbedaan. Iman itu terletak dalam sikap sabar dan syukur. Bersabar ketika mendapat ujian dan bersyukur ketika meraih kebahagiaan. Dengan dua sayap sabar dan syukur itulah kita bisa terbang meroket menuju Tuhan. 

Restoran  
Ketika di restoran, kita bisa bertemu dengan siapa saja. berbeda secara fisik, agama, keyakinan dan juga selera makan, namun kita masih bisa duduk bareng berbincang dalam suasana keakraban sambil menikmati menu yang ada di restoran sesuai selera masing-masing tanpa saling memaksa menjejalkan yang kita sukai ke mulut orang lain. Itu mengajarkan kita untuk mengesampingkan ego pembenaran diri. Karena tugas kita sebagai makhluk yang ada di muka bumi adalah bekerjasama mencari solusi atas persoalan kemanusiaan universal. Kemiskinan, kebodohan, kriminalitas, penyalahgunaan narkoba, jamaah korupsi, dan penyakit sosial lainnya, itulah musuh bersama yang harus kita minimalisir. Jadi, dalam beragama kita tak perlu merasa benar sendiri lantas tak mau bahu membahu dengan orang yang berbeda, atau dengan beringas rela mengucurkan darah saudara sendiri yang kita salah-kafirkan. Ingat Rasul saja manusia terbaik panutan kita bekerjasama dalam kebajikan sosial dengan siapa pun tak peduli warna kulit, agama, atau pun ras golongan. Agama soal selera, Tuhan mengutus banyak nabi dengan kitab suci berbeda-beda secara teks namun substansinya sama yakni mendamaikan hati agar kita hidup selamat di dunia hingga berjumpa dengan-Nya kelak di hari akhir. Saya tak pernah mendengar sesama nabi berkelahi lantaran perbedaan. 

Kloset Mampat
Terakhir, kloset mampat yang kerap membuat kita tak nyaman dan mual adalah gambaran kekotoran sikap keberagamaan kita yang telah berurat akar. Kita menjadi lupa falsafah ajaran awal dalam ilmu fiqh yakni anjuran thaharah atau bersuci sehingga membiarkan kotoran itu terus menumpuk hingga mengerak berurat akar dengan memelihara iri dengki plus hasad yang mengotori hati dan jiwa. Bagaimana mungkin kita bisa mendekati Tuhan sementara tempat tinggal atau rumah kita (hati) dipenuhi kerak kotoran. Bukankah kebersihan bagian daripada iman. Mari memulai membersihkan diri (menata hati) dan lingkungan sekitar tempat tinggal kita. Karena Allah maha suci dan mencintai kesucian. Wallahu a’lam.

Penulis adalah alumni IAIN Sultan Maulana Hasanudin Banten sekaligus Relawan Rumah Dunia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Thank you :)