Bocah itu menjadi pembicaraan di kampung kecil ini. Sudah tiga hari
ini, mondar mandir keliling kampung. Ia menggoda anak-anak sebayanya, anak-anak
remaja di atasnya, dan bahkan orang-orang tua. Hal ini bagi orang kampung
sungguh menyebalkan.
Yah, bagaimana tidak
menyebalkan. Anak itu menggoda orang yang melihatnya dengan berjalan kesana
kemari sambil memegang roti isi daging yang tampak cokelat menyala. Sementara
ditangan kirinya, ia memegang es kelapa lengkap dengan tetesan air dan
butiran-butiran es yang melekat di plastik tersebut.
Pemandangan tersebut
menjadi hal lain dibulan biasa. Tetapi, ini justru terjadi di tengah hari pada
bulan puasa. Bulan ketika banyak orang sedang menahan lapar dan haus yang luar
biasa. Es kelapa dan roti isi daging, tentu saja menggoda orang yang
melihatnya.
Pemandangan itu semakin bertambah menyebalkan,
karena kebetulan selama tiga hari semenjak bocah itu ada, matahari di kampung
itu lebih terik dari biasanya.
Rizal mendapat laporan
dari orang-orang kampung mengenai bocah itu. Mereka tidak berani melarang. Bocah
kecil itu menyodor-nyodorkan dan memperagakan bagaimana nikmatnya mencicipi es
kelapa dan roti isi daging tersebut. Pernah ada yang melarangnya, tapi orang
itu kemudian dibuat mundur ketakutan sekaligus keheranan. Setiap kali dilarang
bocah itu akan mendengus, dan matanya memberikan kilatan yang menyeramkan.
Membuat semua orang yang melarangnya enggan mendekatinya.
Rizal memutuskan akan
menunggu kehadiran bocah itu. Kata orang kampung, anak itu akan muncul secara
misterius setiap ba’da dzuhur. Bocah itu akan muncul dengan pakaian lusuh yang
sama dengan hari-hari kemarin. Dia akan muncul dengan es kelapa dan roti isi
daging yang sama pula. Tidak lama Rizal menunggu, bocah itu datang lagi. Benar,
ia menari-nari dengan menyeruput es kelapa itu. Tingkah bocah tersebut jelas
membuat orang lain menelan ludah.
Rizalpun menegurnya.
Cuma, bukannya takut, bocah itu malah mendelik hebat dan melotot seakan matanya
akan keluar. ”Bismillah…” ucap Rizal
dengan mencengkeram lengan bocah itu. Ia kuatkan mentalnya. Ia berpikir, kalau
memang bocah itu bocah jadi-jadian, ia akan korek keterangan sejadi-jadinya.
Kalau memang bocah itu bocah beneran, ia juga akan cari keterangan
sebenar-benarnya.
“Mengapa Anda melarang
saya meminum es kelapa dan menyantap roti isi daging ini? Bukankah ini
kepunyaan saya?” Tanya bocah itu
sesampainya di rumah Rizal.
“Maaf ya, itu karena
kamu melakukannya di bulan puasa,” jawab Rizal dengan halus. ”Apalagi kamu
tahu, bukankah seharusnya kamu juga berpuasa? Kamu bukannya ikut menahan lapar
dan haus malah menggoda orang dengan tingkahmu itu.”
Sebenarnya, Rizal masih
akan mengeluarkan uneg-unegnya. Tapi, mendadak bocah itu berdiri. Ia menatap
lebih dalam lagi. Kemudian sambil menunjuk kearah hidung bocah itu mulai berkata
“itu kan yang kalian lakukan juga kepada kami! Bukankah kalian yang lebih
sering melakukan hal ini ketimbang saya! Kalian selalu mempertontonkan
kemewahan ketika kami hidup di bawah
garis kemiskinan pada sebelas bulan di
luar bulan puasa!”
“Bukankah kalian yang
lebih sering melupakan kami yang kelaparan lalu menimbun harta sebanyak-banyaknya
dan melupakan kami! Bukankah kalian juga yang selalu tertawa dan melupakan kami
yang sedang menangis! Bukankah kalian yang selalu berobat mahal bila sakit sedikit
saja menyerang. Sementara kalian mendiamkan kami yang mengeluh kesakitan hingga
kematian menjemput ajal!” lanjutnya.
“Bukankah juga di bulan
puasa ini hanya pergeseran waktu saja bagi kalian untuk menahan lapar dan haus!
Ketika bedug maghrib berlalu, ketika adzan maghrib terdengar, kalian kembali
pada kerakusan kalian?”
Bocah itu terus saja
berbicara tanpa memberi kesempatan pada Rizal untuk menyela. Tiba-tiba suara
bocah itu berubah. Kalau tadinya ia berkata begitu tegas dan terdengar sangat menusuk,
kini ia bersuara lirih mengiba. “Ketahuilah, kami ini berpuasa tanpa ujung. Kami
senantiasa berpuasa meski bukan waktunya bulan puasa, lantaran memang tak ada
makanan yang bisa kami makan. Sementara Anda hanya berpuasa sepanjang siang
saja. Dan ketahuilah juga, justru Anda dan orang-orang di sekeliling Andalah
yang menyakiti perasaan kami dengan berpakaian yang luar biasa mewahnya,
lalu kalian sebut itu menyambut Idul
fitri. Bukankah kalian juga yang selalu berlebihan dalam mempersiapkan makanan
yang luar biasa bervariasi banyaknya, segala rupa adanya lantas kalian
menyebutnya dengan istilah menyambut Idul Fitri? Sebelas bulan kalian semua
tertawa di saat kami menangis, bahkan pada bulan Ramadhan pun hanya ada
kepudulian yang seadanya pula.”
Entahlah, apa yang ada
di kepala dan hati Rizal saat itu. Kalimat demi kalimat meluncur deras tanpa
bisa dihentikan sebelum bocah itu pergi dan menghilang selamanya. Semua yang di
sampaikan bocah tersebut menghentakan hatiku.
Punten, penulis memang
seorang guru. Tapi tanpa bermaksud
menggurui, disekitar kita memang ada golongan masyarakat yang masih bergumul
dengan finansial. Setiap malam mereka khawatir seakan-akan besok langit akan
runtuh. Saat orang lain terlelap diatas kasur, iya tetap tidak tidur menahan
lapar yang tidak berujung.
Maka, selagi kotak amal
masih dekat, mari kita sisihkan sebagian harta untuk mereka yang membutuhkan. Apalagi
kameraNya tidak pernah habis batre dan tidak perlu dicas. Yakin deh, isyallah
dibales. Mumpung masih ketemu Ramadhan.
Diambil dari buku Kisah Lima Monyet Dan Bill Gates karya Abdul Azid Muttaqin
Diambil dari buku Kisah Lima Monyet Dan Bill Gates karya Abdul Azid Muttaqin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Thank you :)