Laman

Barang siapa menanam, maka dia akan menuai

BENI


Beni mendapat tawaran menggiurkan dari seorang supir truk pengangkut ikan bandeng. Sudah beberapa hari cuaca tidak bersahabat kepada laut. Antrian truk yang hendak menyebrang ke pulau Sumatra terbentang dari pelabuhan Merak hingga pintu tol Cilegon Barat. Beni ditawarkan satu kontainer penuh ikan bandeng segar yang siap dijual di pasar. Tentu dengan harga mendesak. Satu gandengan truk penuh dijual dengan hanya 10 juta rupiah. Total ikan kurang lebih 10 kwintal atau setara dengan satu ton. Sebuah jackpot yang besar. Secara normal ikan itu bisa dijual 10 kali lipat dari yang dia bayarkan.

Ikan bandeng adalah ikan paling lezat yang terkenal di daerah Banten. Siapa yang tidak kenal sate bandeng. Menu khas daerah Serang yang sudah dikenal di berbagai negara sampai ke Eropa. Kelezatan rasanya patut diacungi ibu jari. Ikan bercita rasa manis-gurih bercampur aroma khas. Dibuat secara tradisional. Karena itu, ikan dibalut oleh daun pisang. Tidak dibungkus oleh plastik. Jauh dari resiko kanker yang menghantui makanan berbungkus plastik dan stereofoam.

Tidak sembarang orang bisa membuat sate bandeng. Cara pembuatannya tergolong sangat  rumit. Untuk membuat sate bandeng yang enak, ikan yang diolah haruslah ikan bandeng segar. Ikan terbaik. Tidak lebih dari satu hari setelah ditangkap nelayan. Kesegaran ikan akan mempengaruhi texture dan cita rasa khas bandeng yang menggiurkan. Ukurannya pun tidak boleh terlalu besar, tidak terlalu kecil. Daging ikan yang tua cenderung hambar, sedangkan kulit ikan yang terlalu muda sangat tipis. Akan menyulitkan proses pembuatan sate bandeng. Kemudian tulang ekor dipatahkan. Daging bandeng dipukul-pukul, tidak lain dimaksudkan agar daging lunak. Barulah daging dikeluarkan melalui mulut atau ingsang ikan. Tidak boleh sembarangan. Kulit ikan harus utuh, tidak boleh sobek. Saat menarik daging dari insang, daging dikeluarkan secara perlahan. Ini bagian tersulit. Jangan sampai kulit ikan jadi sobek. Harus dilakukan dengan penuh kehati-hatian. Setelah duri dipisahkan, daging dihaluskan terlebih dahulu. Lalu diberi bumbu-bumbu lain seperti santan, kunyit, lengkuas, jahe, bawang merah, bawang putih, lengkuas, garam dan gula pasir. Setelah itu, daging kembali dimasukan ke dalam kulit ikan dan dibungkus dengan daun pisang. Lalu masuk ke proses pembakaran dengan arang atau kayu. Untuk menjaga rasa tingga bumbu-bumbunya menyerap, konon, pembuatan bandeng yang enak memakan waktu satu hari.

Bagi supir truk, menjual ikan bandeng dengan harga murah adalah tindakan penyelamatan yang bijak. Jika tidak, ikan-ikan bandeng itu terancam basi hanya dalam kurung waktu 3 hari. Dagingnya akan dipenuhi dengan lendir amis. Supir truk berpesan agar menghabiskan seluruh stok ikan kurang dari 3 hari. Jika tidak, pembeli akan mengalami kerugian yang cukup besar. 

Beni tentu tidak akan memakan ikan 10 kwintal yang dia beli. Selain perutnya tidak muat, terakhir kali dia memakan satu ekor ikan, tubuhnya dipenuhi bercak merah dan gatal. Dia tidak berhenti menggaruki badannya selama 3 hari. Alerginya terhadap ikan sudah cukup lama. Dia sudah mencoba berbagai macam pengobatan, namun tidak ada yang membuahkan hasil.

Beni membeli ikan-ikan tersebut tidak untuk dikonsumsi. Harga ikan yang murah itulah yang dipandang sebagai sebuah peluang. Hanya saja, bagaimana caranya menghabiskan 10 kwintal ikan dalam waktu kurang dari 3 hari? Sebuah rencana disiapkan untuk menghabiskan stok ikan yang banyak itu. Sederhana dan tidak muluk-muluk. Berjualan. Dan tempat strategis untuk menjual semua ikan ini adalah di pasar. Seandainya harganya bisa jauh lebih miring, semua orang pasti akan melirik dagangan Beni. 

Subuh sekali, sebelum ayam bangun untuk berkokok, Beni memanaskan mobilnya untuk pergi ke pasar. Rencananya, dia akan membuka big sale ikan bandeng. Dia membayangkan ratusan orang berdesakkan untuk membeli jualannya. Saling dorong saling sikut. Dia menekan pedal gas hingga ke pasar. Di pasar, ratusan orang sibuk lalu lalang dengan kegiatan jual-beli. Penjual ikan berteriak menawarkan dagangan mereka. “Baru dijala tadi malam. Masih segar, masih segar!” kata penjual ikan di dekat Beni berdiri. Ada yang berteriak, “Ayo bu! Murah bu! Ikan bandeng hanya 23 ribu rupiah per kilo.” Suara bising pedagang yang bersahut-sahutan memenuhi seluruh bagian pasar. Beni tersenyum. Dia berjalan menuju bagian belakang mobilnya, mengambil sesuatu dan membentangkannya. Sebuah spanduk besar berteriak, “Ikan bandeng segar hanya 10 ribu rupiah! Beli 2 kilo gratis satu!” 

Serentak para pembeli ikan yang menawar di tempat lain berhamburan ke tempat Beni. Baru kali ini harga ikan bandeng lebih murah dari ikan lele. Ini menjadi sejarah baru. Orang-orang khawatir kehabisan. Terutama ibu-ibu. Mereka berdesakan seperti kumpulan beri-beri yang mengejar harga diskon. Mobil Beni kewalahan melayani pembeli yang membeludak.

Setelah berjualan 5 jam, keramaian pasar menghilang. Pasar hanya ramai hingga menjelang siang. Siang hari orang malas ke pasar. Mereka lebih suka ke mall yang dingin dan full musik. Kemudian, pukul 10, keadaan mulai sepi. Yang tersisa hanya sampah-sampah plastik dan para pedagang ikan yang mengalami kerugian karena dagangan mereka tidak laku. Mereka tertunduk lesu hari itu.

Beni kipas-kipas dengan uang yang dia dapat dari berjualan. Ia untung besar. Kurang lebih dia berhasil mengantongi 2 juta rupiah dari menjual ikan. Tapi keuntungannya hari itu belum cukup untuk mengganti modal awal yang dia keluarkan. Dia tidak khawatir, sisa ikan di atas truk masih banyak. Masih ada 8 kwintal ikan yang tersisa untuk dijual keesokan harinya. Semua penjual ikan tahu, agar ikan tahan lebih lama, ikan harus tertimbun es. Beni membungkus semua ikannya dengan gunungan-gunungan es.

Keesokan harinya, Beni berangkat ke pasar yang sama untuk berjualan ikan. Para penjual ikan lain mulai syirik. Mereka takut kejadian kemarin terulang lagi. Mereka bisa rugi besar kalau begitu. Ikan-ikan itu pasti basi bila mereka tidak segera menjualnya. 

Beni membentangkan spanduknya. Kali ini tulisannya berbeda.
Ikan bandeng segar hanya 10 ribu rupiah. Beli 2 kilo gratis satu lima!

Dalam sekejap para pemburu ikan melirik truk Beni. Mereka berebut memilih ikan yang ada. Ada yang membeli satu, dua, bahkan lima kilo. Beni kembali kebanjiran pembeli. Uang memenuhi saku dan kaos dalamnya. Sukses besar. Hanya dalam 5 jam berjualan, Beni mengantongi 4 juta rupiah. Pasokan ikan berkurang. Sisa di dalam truk tinggal 5 kwintal lagi. 

Seluruh ikan harus habis terjual keesokan harinya. Ikan-ikan yang dijual Beni sudah mulai terlihat kurang segar. Matanya merah, lendir tebal, insang berwarna kelabu dan daging perutnya lembek. Sebaik apa pun es batu, ternyata hanya bisa menahan ikan selama 3 hari saja. Bila besok ikan-ikan Beni tidak habis terjual, maka sisanya akan busuk. Sungguh sangat disayangkan bila ikan sebanyak 5 kwintal harus terbuang begitu saja.

Pagi-pagi sekali Beni langsung memanaskan truknya untuk berangkat ke pasar. Dia menengok persediaan ikannya. Lendir sudah mulai keluar dan sisiknya tidak cerah lagi. Ikan-ikan ini pastilah juga sudah termakan usia saat supir truk memakirkan kendaraannya sebelum akhirnya dibeli Beni. Dengan keadaan yang seperti itu, tidak ada jalan lain. Beni harus menjual ikan semurah-murahnya. 5 ribu per kilo. Begitulah tulisan di spanduknya sekarang. Namun, takdir berkata lain. Setibanya Beni di pasar, segerombolan pedagang ikan sudah menunggunya di persimpangan jalan. Mereka mengusirnya. Dia tidak diperbolehkan lagi berjualan di pasar itu. Mereka pasti marah karena dagangan mereka tidak yang laku. Para pedagang pasar melempari Beni dengan ikan-ikan yang basi. Beni tidak punya pilihan lain selain memutar balikkan mobilnya sebelum amuk masa memuncak.

Beni memang sudah melakukan sebuah kesalahan yang mengakibatkan pedagang lain merugi. Bila ditaksir, mungkin kerugian akibat ulah Beni mencapai 15 juta rupiah. Tidak hanya penjual bandeng yang rugi, tapi juga penjual ikan-ikan lain. Siapa yang mau beli ikan mas seharga 15 ribu rupiah kalau bisa mendapatkan bandeng seharga 10 ribu rupiah. 

Beni tidak tahu apa yang harus dia lakukan dengan sisa ikan. Hatinya dipenuhi kekecewaan dan kebencian. Dia menyalahkan tuhan dan pedagang yang syirik dengan ke suksesannya. Kini Beni diambang kerugian. Kerugian yang besar. Iikan-ikan itu terancam akan basi keesokan harinya. 

Di atas mobil yang ia kendarai perlahan menuju rumahnya Beni melewati toko bahan kimia. Dia teringat pada isu-isu yang merebak di masyarakat. Isu tentang barang-barang yang diawetkan dengan menggunakan cairan kimia berbahaya, formalin. “Bila mie yang diberi formalin bisa bertahan hingga satu bulan, mungkinkah bila ikan ini diberi formalin akan bertahan lebih lama juga?” pikir Beni.

Beni segera menghentikan laju truknya. Dia turun dan masuk menanyakan zat itu, formalin.
“Formalin ada mas?” tanya Beni yang ragu-ragu.
“Ada. Berapa liter?”
 “Umm, sekitar 50 liter ada?”
“Ada. Sebentar ya.”

Seolah tidak mau tahu, penjual tidak menanyakan untuk apa bahan tersebut digunakan. “Buat apa aku peduli? Biarlah, selama itu tidak merugikan daganganku atau membuat daganganku tidak laku,” mungkin itu yang ada di dalam hati si penjual. Atau mungkin, “Kasian ya orang-orang yang tidak sengaja mengkonsumsi zat berbahaya ini. Tapi mau bagaimana lagi, saya hanya mengikuti prosedur dari bos. Kalau tidak, anak dan istri saya makan apa?” Entah apa pun yang dipikirkan si penjual, zat berbahaya ini akan masuk ke tubuh ribuan orang di Cilegon. Mulai dari anak-anak, orang dewasa, orang tua, orang yang sakit hingga orang yang tidak sanggup berobat ke rumah sakit.

Di pasar, harga formalin cukup murah. Hanya 10 ribu rupiah per liter. 50 liter berarti 5 ratus ribu rupiah. Sangat murah sekali bila dibandingkan dengan harga pengawet makanan yang satu botol kecilnya 25 ribu rupiah. Pantas pemakaian formalin untuk pangan begitu marak.

Terlihat di atas botol dirigen formalin sebuah gambar tengkorang yang disilang dengan tulang anjing. Artinya tidak untuk dikonsumsi oleh manusia. Zat berbahaya. Efek yang ditimbulkan jelas akan berdampak buruk bagi kesehatan. Formalin adalah zat yang tidak 100% larut dalam tubuh. Sebagian akan terbuang melalui urin dan sebagian akan menempel di organ dalam. Di dinding-dinding hati, mengalir dalam pembuluh darah dan berhenti di organ lain seperti ampedu dan otak. Menurut penelitian, penggunaan formalin untuk pangan memiliki efek kerusakan jangka panjang seperti kulit kemerahan, alergi, batuk kronis, sakit tenggorokan, kerusakan hati, radang paru, sakit kepala, susah tidur, sukar konsentrasi, kerusakan ginjal, kerusakan testis, gangguan menstruasi, infertilitas sekunder, bahkan yang paling mematikan bisa memicu kanker.

Beni pernah mendengar kalau zat berbahaya ini juga dipakai oleh sebagian beberapa nelayan nakal saat berlabuh. Tanpa es, ikan hasil tangkapan nelayan hanya dapat bertahan, maksimal, selama satu hari. Untuk mensiasatinya, sebagian nelayan jahat menggunakan formalin secara ilegal untuk mengawetkan hasil tangkapan mereka. Kali ini Beni mulai memaklumi tindakannya yang salah. “Toh nelayan lain juga melakukannya,” begitulah setan berbicara. Sebuah pernyataan yang bodoh. Karena orang lain melakukannya, seharusnya bukan menjadi landasan untuk mengikuti. 

Sepintar apa pun menyiasati pembenaran dalam hati, bila itu tindakan yang salah, pasti akan meninggalkan jejak-jejak ketidak nyamanan. Beni merasa ada yang salah dengan perbuatannya. Dia masih punya sedikit sisi baik di dalam hatinya. Di tengah perjalanannya pulang ke rumah, peperangan dengan batinnya pecah memenuhi isi kepala. Dia memikirkan tentang neraka yang panasnya ribuan kali dari dunia. Matahari yang berjarak satu jengkal, manusia-manusia berteriak minta ampun dan bau busuk sungai nanah dari sekujur tubuh orang-orang yang lalai. Dia ingat, dulu gurunya pernah bercerita tentang orang yang dzolim, hingga ketika di neraka punggungnya gosong hingga kulitnya menempel pada permukaan setrika. Ada juga penjual yang perutnya buncit karena suka mengambil uang riba. Dagingnya busuk dipenuhi ulat dan belatung. Tangannya terus menerus mengambil paku dan memasukkan ke dalam mulut hingga perutnya meledak. Ada juga orang-orang yang dicambuk karena menipu saudaranya. Suaranya melengking membengkakkan telinga. Persis suara jeritan orang yang disayat ribuan silet hingga meninggal. Beni khawatir bila perbuatannya ini termasuk menipu orang. Ia jual ikan tidak segar dengan membuatnya seolah-olah baru ditangkap kemarin. Terlebih ia mencampurkannya dengan pengawet mayat. Hukuman apa yang mungkin dijatuhkan atas perbuatannya nanti di akhirat. Apakah dia termasuk orang yang dzolim, pemakan riba, atau menipu saudaranya?

Di tengah keraguan itu, Beni tetap menjalankan niatnya. Dia lumuri setiap ikan dengan barang berbahaya itu. Dia tidak tahu apakah itu terlalu banyak atau sedikit. Dia banjiri setiap sisi peti ikan dengan semua formalin yang dia beli siang tadi. Lalu dia tutup rapat peti-peti ikannya.

Besoknya, sebelum pergi ke pasar, Beni memeriksa peti-peti ikannya. Dia mendapatkan ikannya tidak berbau busuk. Daging di perut ikan lebih kenyal dan lendirnya menghilang.  Formallin bekerja sangat baik dalam mengawetkan bangkai. Cukup meyakinkan siapa saja, seolah ikan itu baru ditangkap pagi ini.
Beni menyalakan mobilnya menuju sebuah pasar di daerah Pagebangan. Dia membawa beberapa ikan. Rencananya, dia akan berjualan seperti pedagang ikan lainnya. Tidak menaikan harga dan tidak memberi bonus. Mungkin ikan yang terjual lebih sedikit ketimbang hari sebelumnya, tapi Beni tetap akan mendapatkan untuk besar dari penjualannya mengingat ikan yang didapat, dibeli dengan harga yang sangat murah.
Setiap orang tahu, bagian yang paling tidak favorit di pasar adalah bagian penjualan daging dan ikan. Ibu-ibu yang pernah beli daging di pasar tahu betul bau menyengat yang berasal dari potongan daging busuk dan darah hewan yang berceceran. Baunya lebih menyengat dari orang gendut yang gak pakai deodoran. Anehnya, di pasar, bagian penjualan daging adalah tempat yang selalu dipenuhi orang-orang, malah bisa disebut sebagai tempat paling laris dan menguntungkan. Orang-orang mensuplai kebutuhan akan protein dari sini. Ada yang untuk dikonsumsi pribadi, pakan hewan, dijual kembali atau bahan baku rumah makan padang. Di situlah Beni akan berjualan.

Beni membuka jualannya hingga pukul 10 pagi. Keadaaanya tidak seramai kemarin saat Beni memberikan diskon besar-besaran kepada pembeli. Normal saja. Seperti pedagang ikan pada umumnya, tapi tetap untung besar. Malah, sebenarnya lebih menguntungkan. Satu hari itu beni mengantongi 700 ribu. Dia kipas-kipas pakai uang puluhan ribu. Beni berfikir, “Kenapa tidak ku lakukan saja dari kemarin. Toh persediaan ikanku lebih awet.” Setan, setan. Sungguh halus bisikanmu. Dia kembali pulang.

Besoknya, Beni melakukan aksinya kembali. Dia kembali meraup untung besar dari jualannya. Sisa ikan yang tidak terjual, akan kembali dibawa pulang untuk dijual keesokan harinya. Dia pulang sambil mengipas-ngipaskan uang ratusan ribu ke mukanya. 

Waktu terus berlalu. Untuk menjaga tampilan ikan yang mulai membusuk, Beni mencampurkannya dengan pembersih. Cairan formalin dicampur dengan pembersih untuk menghilangkan bau tidak sedap dari ikan-ikannya. Ikan jadi tampak lebih mengkilap dan bersinar. Namun, alangkah tidak baiknya hal ini. Beni sudah tidak memperdulikan lagi tentang akhirat. Dia sudah melupakan neraka. Seolah ia akan hidup selamanya dengan harta yang ia kumpulkan di dunia. Inilah akibat membiarkan dosa-dosa kecil hinggap di hati. Dosa itu bagaikan noda. Bila tidak segera dibersihkan, akan mengerak dan hitam. Seperti hati yang keras dengan kesombongan dan keserakahan. 

Satu hari, saat Beni baru saja hendak memasukkan ikan ke dalam mobil, seorang ibu-ibu gendut menghampirinya. Ibu paruh baya dengan tahi lalat di atas bibirnya berkata, “Mas, Anda penjual ikan bandeng ya?”
Beni membuka mulut “Iya. Silahkan ibu, mau beli berapa kilo?”
Si ibu itu melihat-lihat sejenak ikan-ikan Beni. Dipencet-pencet perut ikan di atas peti. Tidak lama kemudian dia membuka mulut. “Sebenarnya saya mau berlangganan ikan. Boleh saya memperkenalkan diri saya dulu?”
Beni diam saja.
“Nama saya ibu Ross. Saya penjual sekaligus pembuat sate bandeng. Saya biasa memasok bandeng saya dari seorang juragan ikan tetangga saya. Namun, belakangan ini beliau sudah beralih ke bisnis lain. Saya jadi kesulitan mencari bahan baku untuk produksi saya.”
Beni menyimak dengan baik. “Saya bisa menyiapkan ikan-ikan bandeng segar setiap hari. Kebetulan saya dapatkan bandeng ini dari seseorang yang membudidayakan bandeng di Bojonegara.” Beni berbohong. Ikannya bukan hasil budidaya. Tentunya dia tahu kalau berbohong adalah kepala dari segala dosa. Kebohongan yang pertama akan melahirkan kebohongan yang kedua. Kebohongan yang kedua akan melahirkan kebohongan yang ketiga. Begitu seterusnya.
“Tepat! Tepat! Itu yang saya maksud” Ibu Ross menjawab.
“Jadi ibu biasa menghabiskan berapa ekor satu hari?” Percakapan bisnis mulai berjalan.
“Sejauh ini kurang lebih sekitar 100 ekor satu hari.”
Beni sumringah. Bila perjanjian ini jadi, maka sebenarnya dia tidak perlu lagi susah payah membuka dagangannya di pasar yang bau ini. Dia hanya perlu mengirimkan 50 ekor dan kipas-kipas setiap hari. “Bisa saja, saya bisa kasih korting sedikit dari harga yang saya jual ke orang lain.”
Ibu Ross mulai menawar. “Gini aja deh mas, gimana kalau satu kilonya saya beli dengan harga 15 ribu? Minimal saya ambil 30 kilo perhari. Gimana?”
Beni menopang dagunya dengan ibu jari dan telunjuk. Seolah dia berfikir tentang modal yang dia keluarkan. “Waduh bu, kalau segitu mah saya yang rugi. Dari peternaknya saja gak segitu.”
Bu Ross langsung memotong, “Yah mas, namanya juga borongan. Harganya bisa lebih miring dong. Apalagi saya ngambilnya banyak. Gak sehari doang loh mas, seminggu 5-6 kali mungkin saya pesen ikan segitu. Saya tambahin sedikit lagi deh. Gimana kalau 16 ribu?”
Beni mengambil kalkulator disamping ember ikan. Dia mulai memencet-mencet semua tombol di sana. Mukanya serius memelototi layar satu baris kalkulator. “Aduh, maaf bu. Kalau segitu belum bisa. Paling jatuhnya sekitar 18 ribuan,” sambil menunjukkan angka 18 ribu di kalkulatornya.
Bu Ross memasang strategi lain. Mukanya agak ditekuk dan tangannya menyilang. Badannya yang gemuk tampak lebih besar sekarang. “Ya udah mas kalau begitu kita ambil jalan tengahnya aja. 17 ribu, gimana? Kalau gak mau saya cari penawaran lain dulu nih.”
Beni juga ikut menekuk tangannya. Kali ini dia berdiri seolah-olah keuntungan yang diambilnya tipis. Dia berfikir sekian detik. Mulutnya mengeluarkan suara dehaman. “Hmmm... Gimana ya, tipis banget soalnya bu. Tapi kalau pengambilannya segitu, ok deh. Deal. Kapan mulai diambil?”
Persetujuan telah disepakati. Setiap pagi pukul 9 ikan-ikan pesanan bu Ross diantar ke rumahnya. Bu Ross hanya perlu SMS lalu Beni akan mengirimkanya sesuai dengan pesanan. Mobil membawa ikan meninggalkan asap-debu dan uang ratusan ribu di tangan Beni. Hidup begitu indah.
  
[Mark]

Tanpa diketahui, ikan yang dijual bu Ross menjadi racun bagi yang mengkonsumsinya. Seorang ibu membeli ikan bandeng bu Ross untuk anaknya yang sedang sakit keras. Sang anak sangat menyukai sate bandeng bu Ross. Tentu keadaannya tidak sama sekarang. Dahulu ikan itu menyehatkan, sekarang menyakitkan. Anak itu akan mengkonsumsi ikan yang sudah teracuni sampai ke tulang. Di atas kasur sang ibu menyuapi anaknya dengan penuh perhatian. Berharap keadaannya membaik, 30 menit setelah memakan bandeng bu Ross keadaan anaknya bertambah parah. Demamnya memuncak hingga harus dilarikan ke rumah sakit. 

Ada orang tua yang beli bandeng karena sudah tidak mampu lagi memakan makanan yang keras. Keluarganya hidup miskin, serba kekurangan. Namun keluarga mereka sangat dipenuhi cinta. Diam-diam, anaknya yang sulung berencana menabung untuk merayakan ulang tahun kakeknya yang ke seratus. Kakeknya sangat suka sate bandeng. Baginya, sate bandeng adalah makanan alternative. Giginya yang sudah jarang-jarang tidak memungkinkannya untuk memakan daging lagi. Dia hanya bisa memakan makanan yang lembut. Momen itu tidak mungkin terlupakan. Kue ulang tahun mini dibawakan. Lengkap dengan lilin dan ucapan selamat ulang tahun. Mereka begitu bahagia. Namun setelah memakan sate bandeng, kakek tersebut batuk akut hingga mengeluarkan darah. Si kakek dilarikan ke rumah sakit, naas ajal menjemputnya di perjalanan. Anak-anaknya tidak menyadari kalau itu adalah akibat mengkonsumsi ikan berformalin. Mereka berfikir usia kakek yang menjadi penyebab utamanya.

Ikan bandeng itu kemudian menjadi racun yang tidak pernah disadari orang-orang. Selama itu memiliki label dan harga yang murah, biasanya orang tidak perlu lagi menanyakan kandungan apa yang ada di dalamnya. Alangkah bodohnya manusia jaman sekarang. Mudah tertipu oleh kemasan dan harga. 

[Mark]

Beni terus mengirim kebutuhan ikan bandeng. Bu Ross senang sekali karena selama ini kebutuhan produksinya bisa terpenuhi dengan baik. Dia mengucapkan terima kasih kepada Beni yang selama ini sudah membantunya menyuplai kebutuhan ikan sebagai bahan baku sate bandeng miliknya.

“Sebagai tanda terima kasih, ini saya hadiahkan satu karung besar kerupuk,” kata bu Ross yang senang.

Beni menerimanya. Dia tidak terlalu memperdulikan kerupuk satu karung yang dihadiai bu Ross. Dia lebih tertarik pada pembayaran ikan hari itu. Bu Ross bercerita selayaknya ibu-ibu sejati. Mulutnya kesana-kemari, ketawa pada humor yang tidak lucu, dan lain sebagainya. Beni berhayal mempunyai tambak bandeng sendiri. Suara bu Ross terdengar seperti auman sapi di telinganya. Ia tidak begitu memperhatikan. Bu Ross semangat sekali menceritakan usahanya yang maju dan berkembang. Beni berhayal membeli sebuah truk besar untuk mendistribusikan ikannya ke seluruh Indonesia. Begitulah hingga Beni mencari celah untuk pamit pulang.

Bu Ross melambaikan tangan. Beni meninggalkan bu Ross dengan asap knalpot yang tebal dan berbau karbon. Beni tersenyum lebar. Menepuk-nepuk tumpukan uang ke tangan yang satunya, melebarkannya dan mengipas-ngipas wajah layaknya juragan ikan paling kaya. 

Beni pulang membawa uang dan sekarung kerupuk pemberian bu Ross. Diatas mobil yang selalu dikendarainya, dia mengambil kerupuk yang tadi diberikan bu Ross. Dia membayangkan sebentar lagi akan membeli sebuah rumah baru dari hasil menjual ikan-ikannya. Mulutnya mengunyah kerupuk. Beni kembali berhayal tentang mobil idamannya Fortuner. Tangannya mengangkat seolah-olah mengendarai mobil super empuk itu. “Brum brum brum,” menirukan mesin mobil. Dia mengambil kerupuk lain dari karung untuk menemaninya berhayal dalam perjalanan pulang. Krauk krauk krauk. Kali ini dia berhayal usahanya akan berjalan mulus hingga tua. Dia tidak perlu kerja capek-capek, tinggal duduk dan menyuruh orang lain mengantarkan ikan-ikan bandeng kepada klien-kliennya yang bertambah banyak.

Imajinasinya melayang ke sana kemari. Tinggi dan panjang. Lebih dari setengah karung kerupuk tidak terasa sudah dihabiskannya. “Krupuknya enak juga,” kata Beni dalam hati. Tangannya terus mengaduk-aduk kerupuk ke dalam karung. Satu per satu diangkatnya ke mulut. Sesampainya Beni di rumah, kerupuk yang tersisa tinggal satu. Beni turun dengan uang dan karung kerupuk yang sudah kosong. Giginya menopang kerupuk terakhir sementara kedua tangannya menggulung-gulung karung kerupuk. 

Mata Beni begitu terkejut dikala dia melihat gambar wanita gendut dengan tahi lalat di atas bibirnya. “Kerupuk ibu Ross. Enak, sehat, dan bernutrisi. Tanpa bahan pengawet dan pemutih. Terbuat dari 100 ikan bandeng asli. Dijamin HALAL.”

Kerupuk yang ada diantara gigi Beni jatuh perlahan menyentuh tanah. Tangannya mulai mengeluarkan bercak aneh. Kulitnya teriritasi dan memerah. Seketika rasa gatalnya langsung menjalar ke seluruh tubuh.
Tuhan tidak pernah tidur. Dia selalu menyaksikan detik demi detik yang dilakukan manusia di bumi. Bahkan ketika kita tidur, tuhan tidak pernah pergi untuk beristirahat. 

Balasan itu selalu ada. Yang baik akan dibalas dengan kebaikan. Sedangkan yang buruk akan dibalas dengan keburukan. Bahkan sebuah amalan yang hanya sekecil biji dzaroh. Bukankah tuhan itu maha melihat lagi maha mengetahui?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Thank you :)